Select Menu
Select Menu

Favourite

Artikel

Opini

Tokoh

Cerpen

Humor

Tips

Seni Budaya

Gallery

» » “MUNCULNYA ANOMALI DAN HILANGNYA MARWAH SANTRI (I)”


alawysyihab 21.37 0

Kunjungan tuan rumah Mata Najwa, Najwa Syihab, dalam beberapa waktu lalu memang layak diapresiasi. Kunjungan dalam rangka menyulut minat baca yang belakangan dirasa keredupannya sudah memprihatinkan dan perlu ditindak. Sebuah bukti diungkap, bahwa masyrakat Indonesia menjadi pemenang kampiun dalam tingkat kemalasan membaca; Indonesia berada di urutan nomor dua bongkot, masih lumayan ada yang dikalahkannya; Indonesia berada di urutan 60 dari 61 negara sebagai sampelnya, ini memang ironis dan mencengangkan. Sebuah langkah cerdas −mengahdirkan duta baca− mana kala memang mahasiswa pada detik ini masih manjadi pasien yang perlu disadarkan, meskipun sebenarnya ini bukan tahapan mereka lagi. Tahapan mereka seharusnya adalah menyadarkan, bukan disadarkan layaknya murid-murid TK Umar Harun ataupun cikal-bakal SD lanjutannya.
Layak utuk dicermati. Ada pembelajaran yang patut dipetik yang muncul dan tersaji dalam sesi acara beberapa waktu lalu. Satu sisi, ini adalah sebuah pembelajaran brilian dan kesempatan dalam menyadarkan dan menumbuhkan minat baca, terutama mahasiswa. Sisi lainnya adalah perlunya kesadaran yang dissebabkan oleh munculnya anomaly dalam diri santri dalam sikapnya yang menjadi respon dari kunjungan ini. Keanomalian itu mungkin tidak begitu tampak. Jikalaupun itu tampak –yang sangat disayangkan− mungkin akan dinggagap sebagai hal wajar sebagai seorang mahasiswa. Namun sebenarnya ini menberikan pertanda dan menjadi warning, bahwa anomaly itu sudah bertunas. Anomaly yang tampak adalah sikap “terlalu” seorang santri dalam merespon. Seorang santri selayaknya memang harus menghormati tamu siapapun itu, terlebih sesama saudara Islam. Begitupun penghormatan lainnya-pun yang menjadi kewajiban sudah sepatutnya tidak terluputkan dan tak tergadaikan. Penghormatan tersebut adalah penghormatan terhadap seorang guru.
Cobalah kita tengok dan amati, hal apa yang telah tersaji dari sikap seorang santri pada waktu lalu. Penghormatan kepada tamu memang haru dilaksanakan dan diadakan, mengingat ini amanah etika seorang santri. Bukan seorang sntri kalau memang dia tidak dapat memulyakan tamunya. Namun jika penghormatan itu melampui kewajaran dan menghilangkan keseimbangan, lantas ini dinamakan apa? Salah atau tidak? Saya pun tidak begitu paham, apakah ini penilaian yang terlalu jauh atau terlalu sensitive dalam menilai. Hanya saja faktanya, bahwa karisma sesosok guru pada sesi kemarin tampak redup −kalau tidak ingin dikatakan hilang sama sekali. Pesona idola seorang guru tampak terkalahkan dengan silaunya pesona keartisan. Hebohnya kekaguman kepada seorang artis melambung melebihi kehebohan kekaguman kepada seorang guru. Serta asyiknya mendaulat idola artis lebih terasa “wah” dibanding mendaulat guru sebagai idolanya.
Lebih lanjut, riuh dan kalutnya santri meledak saat detik-detik akhir sesi. Dari keriuhan serta kekalutan ini lahirlah sikap “Lupa daratan” dari kerumunan mereka, sehingga sudah tidak sadar apakah harus melangkahi ataupun dilangkahi. Mereka sudah tidak perduli bahkan terhadap diri sendiri. Kemudian yang lebih memilukan, “Lupa daratan” ini melahirkan sikap tuna-adab yang seharusnya tidak tidak timbul, apalagi dalam tuna-adab ini mengorbankan keberadaan dan kehadiran sesosok guru pada sesi acara tersebut. Guru seolah keberadaanya tidak tersadari dan perlahan termarginalkan. Ataupun yang malah menghentak, adalah sikap yang agak rela memarginalkan seorang guru demi mengejar kesempatan eksis bersama sang artis. Dan jelas munculnya anomaly ini menandakan lunturnya marwah santri.
Bersama dengan ini, mari kita tanyakan kedalam diri masing-masing: Sikap tanggung jawab apa yang akan kita hadirkan untuk membenahi keanomalian ini? Sejauh manakah kita berusaha mengembalikan marwah santri yang mulai luntur? Keanomalian ini jika tidak disadari akan menjalar kepada pengakuan public, bahwa “ini bukan permasalahan. Ini biasa saja dalam merespon seorang artis, terlebih mereka adalah anak-anak muda”. Yang saya khawatirkan dan takutkan, orang yang berkata demikian mengatakannya dengan penuh kesombongan ataupun kecongkakan. Pada akhirnya, orang-orang seperti inilah yang akan menggadaikan sedikit demi sedikit marwah santri dan terus memupuk keanomaliannya. Selanjutnya, ini akan menjadi kewajaran dalam domain public yang tak berkesudahan dan terwariskan. Lantas akan diteruskan oleh generas-generasi setelahnnya tanpa tahu nistanya tuna-adab ini.

«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar

Leave a Reply