Select Menu
Select Menu

Favourite

Artikel

Opini

Tokoh

Cerpen

Humor

Tips

Seni Budaya

Gallery


Saya setuju dengan sebuah statement, “STAI itu didirikan bukan berdasar pragmatisme, melainkan idelisme”. Ini menarik. Bagaimanapun idealisme merupakan salah satu bukti bahwa sebenarnya orang itu punya niatan hidup atau sekedar hidup, atau bahkan tidak punya niatan hidup sama sekali. Tanpa idealisme, sulit sekali seseorang bisa memetik kemajuan dalam hidup, sebab bagaimanapun idealisme merupakan barometernya − terlebih sebuah institusi. Bagaimana mungkin sebuah institusi dapat meraih espekatasi yang tinggi jika cita-cita sebagai patokannya tidak dipunyai. Tidak bisa dibayangkan, apa jadinya sebuah lembaga yang sudah kadung berdiri hanya saja tidak memiliki idealisme. Akhirnya, institusi berjalan ala kadarnya tanpa progres yang berarti dan hanya menjadi rutinitas ala “Glundung Semprong”. Sehingga sematan, “Hidup enggan matipun segan” menjadi sebuah keniscyaan yang tak terelakkan bagi institusi tersebut.
Jika kita berkeyakinan bahwa idelisme adalah patokan dalam menggapai kesuksesan institusi ataupun individu, maka di sisi lain idealisme merupakan nilai dasar adanya marwah seseorang. Mustahil kita mengatakan orang yang menjalanai hidupnya dengan ala kadarnya tanpa tujuan merupakan sebuah representasi orang yang bermarwah. Apakah anda setuju orang-orang tak berbusana di pinggiran jalan adalah representasi orang yang bermarwah? Lebih lanjut, jika anda mengatakan “iya”, apakah anda rela jika marwah anda disamakan dengan marwah orang tersebut? Saya yakin jawabannya tidak. Jika anda menjawab iya, berarti anda patut dibawa ke klinik Tong Fang untuk proses rehabilitasi. Kemudian, dalam konteks santri, idelisme seorang santri dapat terwujud melalui pengukuhan dan pelaksanaan identitas kultur dan budayanya. Ada sebuah statement menarik dalam kajian social dan antropolog, “Sebuah masyrakat maju, ciri khasnya adalah pengertian serta kesadaran dalam melaksanakan identitas kelasnya”. Tanpa adanya kesadaran tersebut sulit sebuah tatanan masyarakat menemukan momentum kebangkitannya secara ideal, sebab instrument peradaban tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Begitupaun dengan idealissme santri. Sejauh ini kultur dan budaya santri adalah penghormatan guru yang tak ternilai dan sikap itu sesuai dengan diktum, “Guru merupakan sosok yang patut dihormati setelah kedua orang tua”. Dalam kaitannya dengan sesi acara lalu, seharusnya kita sadar dan mencoba menyadarkan diri bahwa sebenarnya di muka-podium masih ada sosok-sosok guru yang harus dihormati. Tidak sepatutnya sikap serapah itu ditunjukkan dihadapan beliau-beliau. Kegetiran ini tambah menjadi-jadi ketika keberadaan guru tersebut hanya menjadi korban pelampiasan gelap mata kegandrungan yang tak terkontrol. Pada akhirnya mana guru mana, mana orang biasa tak ada bedanya dalam penyikapannya. Mengenai hal ini memang tidak bisa menuduh siapa yang bersalah dan siapa yang paling bersalah. Hanya saja ada sebuah kesalahan yang nyata dan patut dikoreksi secara keseluruhan. Kesalahan itu ada dalam diri serta individu yang semrawut dan kalut kala itu.
Jika kemudian ada orang yang mengatakan, “Ini bukan pondok murni. Tidak bisa disamakan dengan yang tulen dan benar-benar concern terhadap salaf. Jadi harap dimaklumi.” Saya akan tegas mengatakannya, “Iya. Tidak mungkin kita samakan dan tidak mungkin sama, karena bagaimanapun eko-sosialnya sudah berbeda sama sekali”. Tapi pertanyaannya, bukankah jiwa kita santri? Bukankah seharusnya jiwa itu terus dipupuk dan menjadi modal dasar dalam mengembangkan peradaban santri? Bukankah jiwa santri itu terus kita kawal agar benar-benar tertancap, meskipun negenai tampilan bisa diupgrade sasuai perkembangan zaman? Fakta di atas itu memang benar adanya, Akan tetapi jika fakta dijadikan dijadikan dalih untuk melangkah mundur ke belakang secara bersama, berarti itu patut dikoreksi.
Kesadaran kelas –dalam hal ini adalah kelas santri− harus dilaksanakan oleh pemilik kelas tersebut. Eksistensi kelas sebagai identitas tidak bisa kita anggurkan begitu saja tanpa adanya kesadaran pemiliknya. Kalau pemilik kelas saja tidak sadar dengan posisi kelasnya, lantas siapa yang harus sadar menyandangnya? Apakah harus orang lain di luar kelas itu? Kalau sebagai santri saja tida sadar dengan kesantriannya, lantas haruskah selain santri sadar dengan kesantrian dan embo-embo menjadi santri? Ini tidak mungkin dan sangat naif. Tampaknya, setelah melihat serangkaian fenomena di atas, sudah saatnya kita mengeratkan kembali makna adab beserta hal-hal yang terkait dengannya. Langkah ini sebagai wujud kesadaran pemilik kelas terhadap kelasnya. Pada ujungnya, idealisme ini akan tertegakkan setegak adab yang tertanam kokoh. Dan bersama dengan ini semua, marwah santri yang sempat sayup dan layu akan merekah kembali tanpa adanya kekhawatiran dan kegetiran ketika memandangnya.
*Hasyim MQ
Kunjungan tuan rumah Mata Najwa, Najwa Syihab, dalam beberapa waktu lalu memang layak diapresiasi. Kunjungan dalam rangka menyulut minat baca yang belakangan dirasa keredupannya sudah memprihatinkan dan perlu ditindak. Sebuah bukti diungkap, bahwa masyrakat Indonesia menjadi pemenang kampiun dalam tingkat kemalasan membaca; Indonesia berada di urutan nomor dua bongkot, masih lumayan ada yang dikalahkannya; Indonesia berada di urutan 60 dari 61 negara sebagai sampelnya, ini memang ironis dan mencengangkan. Sebuah langkah cerdas −mengahdirkan duta baca− mana kala memang mahasiswa pada detik ini masih manjadi pasien yang perlu disadarkan, meskipun sebenarnya ini bukan tahapan mereka lagi. Tahapan mereka seharusnya adalah menyadarkan, bukan disadarkan layaknya murid-murid TK Umar Harun ataupun cikal-bakal SD lanjutannya.
Layak utuk dicermati. Ada pembelajaran yang patut dipetik yang muncul dan tersaji dalam sesi acara beberapa waktu lalu. Satu sisi, ini adalah sebuah pembelajaran brilian dan kesempatan dalam menyadarkan dan menumbuhkan minat baca, terutama mahasiswa. Sisi lainnya adalah perlunya kesadaran yang dissebabkan oleh munculnya anomaly dalam diri santri dalam sikapnya yang menjadi respon dari kunjungan ini. Keanomalian itu mungkin tidak begitu tampak. Jikalaupun itu tampak –yang sangat disayangkan− mungkin akan dinggagap sebagai hal wajar sebagai seorang mahasiswa. Namun sebenarnya ini menberikan pertanda dan menjadi warning, bahwa anomaly itu sudah bertunas. Anomaly yang tampak adalah sikap “terlalu” seorang santri dalam merespon. Seorang santri selayaknya memang harus menghormati tamu siapapun itu, terlebih sesama saudara Islam. Begitupun penghormatan lainnya-pun yang menjadi kewajiban sudah sepatutnya tidak terluputkan dan tak tergadaikan. Penghormatan tersebut adalah penghormatan terhadap seorang guru.
Cobalah kita tengok dan amati, hal apa yang telah tersaji dari sikap seorang santri pada waktu lalu. Penghormatan kepada tamu memang haru dilaksanakan dan diadakan, mengingat ini amanah etika seorang santri. Bukan seorang sntri kalau memang dia tidak dapat memulyakan tamunya. Namun jika penghormatan itu melampui kewajaran dan menghilangkan keseimbangan, lantas ini dinamakan apa? Salah atau tidak? Saya pun tidak begitu paham, apakah ini penilaian yang terlalu jauh atau terlalu sensitive dalam menilai. Hanya saja faktanya, bahwa karisma sesosok guru pada sesi kemarin tampak redup −kalau tidak ingin dikatakan hilang sama sekali. Pesona idola seorang guru tampak terkalahkan dengan silaunya pesona keartisan. Hebohnya kekaguman kepada seorang artis melambung melebihi kehebohan kekaguman kepada seorang guru. Serta asyiknya mendaulat idola artis lebih terasa “wah” dibanding mendaulat guru sebagai idolanya.
Lebih lanjut, riuh dan kalutnya santri meledak saat detik-detik akhir sesi. Dari keriuhan serta kekalutan ini lahirlah sikap “Lupa daratan” dari kerumunan mereka, sehingga sudah tidak sadar apakah harus melangkahi ataupun dilangkahi. Mereka sudah tidak perduli bahkan terhadap diri sendiri. Kemudian yang lebih memilukan, “Lupa daratan” ini melahirkan sikap tuna-adab yang seharusnya tidak tidak timbul, apalagi dalam tuna-adab ini mengorbankan keberadaan dan kehadiran sesosok guru pada sesi acara tersebut. Guru seolah keberadaanya tidak tersadari dan perlahan termarginalkan. Ataupun yang malah menghentak, adalah sikap yang agak rela memarginalkan seorang guru demi mengejar kesempatan eksis bersama sang artis. Dan jelas munculnya anomaly ini menandakan lunturnya marwah santri.
Bersama dengan ini, mari kita tanyakan kedalam diri masing-masing: Sikap tanggung jawab apa yang akan kita hadirkan untuk membenahi keanomalian ini? Sejauh manakah kita berusaha mengembalikan marwah santri yang mulai luntur? Keanomalian ini jika tidak disadari akan menjalar kepada pengakuan public, bahwa “ini bukan permasalahan. Ini biasa saja dalam merespon seorang artis, terlebih mereka adalah anak-anak muda”. Yang saya khawatirkan dan takutkan, orang yang berkata demikian mengatakannya dengan penuh kesombongan ataupun kecongkakan. Pada akhirnya, orang-orang seperti inilah yang akan menggadaikan sedikit demi sedikit marwah santri dan terus memupuk keanomaliannya. Selanjutnya, ini akan menjadi kewajaran dalam domain public yang tak berkesudahan dan terwariskan. Lantas akan diteruskan oleh generas-generasi setelahnnya tanpa tahu nistanya tuna-adab ini.


Sarang- Acara Talk Show Catatan Najwa memang sudah selesai, Akan tetapi  masih meninggalkan beberapa cerita unik.  Acara yang diselengarakan pada Sabtu (15/4) di Kampus STAI Al Anwar ini dihadiri oleh Najwa Shihab dan Dr. K.H. Abdul Ghofur Maimun. Dalam acara tersebut Najwa Shihab dan seluruh yang hadir dibuat terpukau oleh penampilan Paduan Suara Mahasiswa (PSM) STAI Al Anwar yang melantunkan lagu Indonesia Jaya.
Menurut Najwa Shihab atau yang akrab dipanggil Mbak Nana, suara penyanyi solo yaitu Slamet Firdaus mirip dengan salah satu penyanyi kondang Indonesia Afgan Shahreza. Ia mengatakan  sempat terkejut ketika mendengar Slamet melantukan lagu Indonesia Jaya. Dikiranya Afgan Hadir dalam acara tersebut, ternyata bukan Afgan tetapi Slamet.
“ Saya kira tadi yang nyanyi Afgan, eh ternyata Slamet. Tetapi suaranya mirip lho, 11 : 12 . Dan saya mengucapakan terima kasih kepada PSM yang telah menghibur kami semua dan telah membuat acara talk show ini semakan ramai.” Tutur Mbak Nana.
Menurut Alawy Selaku Manager PSM lagu ini dipilih, sebagai runungan kita bersama  bahwa hidup ini akan selalu penuh rintangan. Namun ketika kita menyadari dan menjalaninya dengan penuh harapan kepada Yang Maha esa serta bekerja sama untuk berjuang, maka segala impian kita akan menjadi nyata termasuk kejayaan Indonesia.
“ Pemilihan lagu ini tidak sepontanitas, melainkan melalui beberapa diskusi. Kami diskusikan dengan rekan-rekan semua tentang lagu apa yang cocok. Akhirnya terpilihlah lagu Indonesia Jaya. Sebab, kami ingin mengajak semua audien untuk merunung bahwa tanpa persatuan dan kesatuan tidak mungkin kita bisa mewujudkan negara Indonesia yang Jaya.” Ujar Alawy. (Syihab)


Sarang- Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar ke 4, Indonesia masih tergolong sebagai negara dengan minat baca yang bisa di bilang sangat rendah. Dalam acara Talk Show yang bertajuk Catatan Najwa pada Sabtu (15/04) di STAI Al Anwar Sarang, Najwa Shihab yang merupakan duta baca Indonesia. Mengajak kepada seluruh  masyarakat Indonesia khususnya peserta Talk Show untuk lebih gemar mambaca.
 Mbak Nana sapaan akrab Najwa Shihab mengatakan Dalam sebuah survei tahun 2016  minta baca anak-anak Indonesia menduduki urutan ke 60 dari 61 negara dengan peresentase 0,001 . Masih berada satu tingkat di atas negara Bostwana dan tertinggal jauh dengan negara tetatangga Singapura.
“ Dari sebuah survei yang ada minta baca anak-anak Indonesia setiap tahunnya hanya  0,001%. Masih tertinggal jauh dari negara tetangga Singapura di mana, rata-rata  masyarakatnya bisa menghabiskan 17 buku untuk dibaca.” Terang Mbak Nana.
Beliau juga mengatakan sebenarnya yang menjadi probelem rendahnya minta baca di Indonesia bukannya anak-anaknya melainkan fasilitas yang ada. Sepeti  apa yang terjadi di Papua ada mantan atlet angkat besi, yang setiap harinya naik turun gunung membawa noken (tas khas Papua) yang di dalamnya berisikan buku-buku. Di sana anak-anaknya pun sangat antusias untuk membaca.
“ Bukan anak-anaknya akan tetapi fasilitas yang ada, yang belum bisa memenuhi kebutuhan mereka dalam membaca. Ibuh Mbak Nana.
Di penghujung acara beliau berpesan kepada seluruh peserta talk show,  sebagai duta baca kita harus bersama-sama meningkatkan minat baca buku, karena kita dapat mengetahui banyak hal dari itu. (vita)

STAI AL ANWAR BUKA KONVEKSI JAHITAN



Sarang— Selasa (11/4) Dr. KH. Abdul Ghofur Mz bekerjasama dengan PT. Paduren Jaya Kudus membuka pelatihan menjahit bagi Mahasantrinya dengan harapan dapat membangun keahlian dalam hal jahit-menjahit dalam diri mahasiswa/i STAI Al Anwar dengan menghadirkan langsung pelatih dari Kudus, yaitu Ahmadi Rahman (Pemilik PT. Paduren Jaya Kudus), Ahmad Sulhan, dan Ulil Abror. 

Sampai saat ini pelatihan menjahit telah berlangsung di Gedung Auditorium STAI Al Anwar selama 3 hari terhitung mulai tanggal 11- 13 April 2017, dan masih akan berlanjut sekitar 7 hari lagi, acara pelatihan menjahit ini dilatih langsung dengan menghadirkan mentor dari PT. Padurenan Jaya Kudus, Bapak Ahmadi Rahman, selaku pemilik dari PT. Pedurenan Jaya Kudus.

“Semoga para santri dapat bersungguh-sungguh dalam pelatihan ini, sehingga dalam sepuluh hari ini sudah dapat membuaat baju dan celana. Mungkin untuk kedepannya, kita sudah tau lah bahwa busana muslim sangat banyak, baik dari fashion seperti jilbab atau yang simple seperti sarung” ujar Ahmad rahman dalam pelatihan menjahit tersebut.

Dalam sambutan Dr. KH. Abdul Ghofur Mz, selaku Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Al anwar, beliau meminta bantuan dan kerjasama dengan PT. Padurenan Jaya Kudus agar melatih para peserta selama seminggu ke depan. 

“Kami benar-benar minta bantuan agar semuanya ini dilatih, insya Allah ada beberapa orang yang tahun depan sudah harus bikin seragam untuk TK, SD dan KB UMAR HARUN karena setiap anak butuh beberapa baju dan semuanya akan diproduksi oleh Konveksi Al-anwar 3 ini” tutur Dr. KH.Abdul Ghofur Mz. (Tim Reporter)
IBU NELY: UTS ALAMAI PENINGKATAN KUALITAS
Sarang- Ujian Tengah Semester (UTS) STAI Al-Anwar Sarang yang dilaksanakan Sabtu (1/4) hingga Rabu (5/4) mengalami peningkatan    dari tahun-tahun sebelumnya. Baik dari persiapam mahasiswa, dosen dan Panitia Ujian. Kesipan ini terlihat dari diskusi-diskusi diluar forum KBM (Kegiatan Belajar Mengajar), baik yang berifat serius atau santai.  Panitia pun tidak jauh berbeda, ada perkembangan dalam segi teknis. Seperti penataan berkas-berkas, ruangan dan penganwas ujian.
Menurut Ibu Nely salah satu dosen Makul Bahasa Arab STAI Al Anwar Sarang, ada beberapa aspek yang mengindikasikan peningkatan kualitas UTS tahun ini. Di mana pada tahun ini terlihat mahasiswa sangat antusias dalam menyambut Ujian. Salah satu contohnya apa yang di lakukan para mahasiswi. Sebelum ujian berlangsung, mereka telah membentuk forum-forum diskusi yang bertujuan untuk kembali mereview pelajaran-pelajaran yang telah lalu. Sehingga mereka bisa berbagi pahaman antara satu orang dengan orang yang lain.  Salin itu, panitia pun tak mau kalah, mereka mepersiapkan UTS ini dengan sebaik-baiknya. Salah satunya, lembar jawaban yang dahulu masih mengunakan kertas folio sekarang sudah di ganti dengan kertas khusus.
“Saya banyak melihat Mahasiswa kususnya mahasiswa putri yang membuat Forum diskusi. Ini menunjukan bangaimana mereka sangat antusias sekali dalam menyambut ujian kali ini. Meskipun kita belum melihat hasilnya, sebab belum di koreksi. Tetapi untuk secara keseluruhan pada UTS kali ini ada peningkatan dari pada yang dulu. Apalagi persiapan Panitianya, sudah mengalami perkembangan. Seperti kertas yang sebelumnya mengunakan polio sekarang sudah diganti dengan kertas khusus dan tertata rapi. ruangan-ruanganya pun dalam segi penataan, sudah sangat bagus”.Ujar Ibu Nely saat ditemui Team Reporter di kantor STAI Al-Anwar.
Selain itu Ibu Nely pun berharap UTS tahun ini, para mahasiswa mendapat nilai yang lebih bagus dari semester yang dulu-dulu. UTS sendiri mililiki Presentase 20 persen dari keseluruhan nilai yang capai mahasiswa. Jadi, tidak boleh meremehkannya. Beliau juga berharap agar para mahasiswa Memperbanyak pengetahuan. Dengan cara giat membaca buku dan berdiskusi. Sebab, hal tersebut yang akan menjadi penunjang wawasan dan pengetahuan para mahasiswa dalam menjawab soal- soal ujian, yang kebanyakan modelnya berupa opini. serta hindarilah belajar dengan Sistem Kebut Semalam (SKS).
“ bobot dari UTS sendiri adalah 20 persen dari keseluruhan nilai dalam ujian. Jadi, jangan sampai ada yang meremehkannya. Saya berharap kepada para mahasiswa agar banyak membaca buku dan berdiskusi. Sebab, dua hal tersebutlah, penunjang wawasan dan pengetahuan mahasiswa, agar ketika ujian mudah menjawab soal-soal yang berupa opini. serta hindari sistem SKS.” Tutur Ibu Nely.
Dan yang terakhir beliau mewakili para dosen STAI Al Anwar Sarang berharap STAI Al-Anwar Sarang bisa berkembanganya pesat. Sehingga kehadiran STAI Al Anwar Sarang, bisa menjadi salah satu perguruan tinggi yang akan mencetak mahasiswa berkualitas, baik dari segi intelektualitas maupun segi moralitas. Mengingat perguruan tinggi ini tidak hanya tempat kuliah saja, melainkan juga ada pondok pesantrennya. Di mana kampus akan menjadi tempat pengodokan intelktualitas dan pondok pesentren sebagai tempat perbaikan moralitas. (Ayu/Vita/Duroh).


Belajar Dari Wortel, Telur dan Kopi
Alawy Assyihab
Kita tidak pernah tahu dengan apa yang telah ditakdirkan oleh Allah SWT. Kita pun tidak pernah tahu kapan kita akan di tempatkan pada level atas dan tidak pernah tahu kapan kita akan diturunkan pada level yang paling bawah. Hanya Allah yang tahu dan hanya Allah yang mengerti apa yang terbaik buat kita. Kita sebagai hamba hanya bisa bersabar jika suatu saat nanti Allah menghendaki kita berada di level yang paling bawah.
Teringat pada salah satu ayat Al-Qur’an dalam surat al-Baqarah 155:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”
Ayat ini menyadarkan ku bahwa setiap manusia tidak akan luput dari sebuah ujian atau cobaan. Karena pada hakikatnya ujian adalah fitrah bagi setiap insan. Dan pasti akan datang kebahiagian setelah ujian tersebut. Atau dalam bahasa kerennya “ setelah badai pasti akan terbit pelangi”.
 jadi teringat dengan cerita ibu saat masih kecil dulu. Di mana ia bercerita tentang  Seorang anak yang mengeluh pada ibunya mengenai kehidupannya dan menanyakan mengapa hidup ini terasa begitu berat baginya. Ia tidak tahu bagaimana menghadapinya dan hampir menyerah. Ia sudah lelah untuk berjuang. Sepertinya setiap kali satu masalah selesai, timbul masalah baru.
Ibunya, membawanya ke dapur. Ia mengisi 3 panci dengan air dan menaruhnya di atas kompor dengan api yang sudah menyala. Setelah air di panci-panci tersebut mendidih. Ia menaruh wortel di dalam panci pertama, telur di panci kedua, dan ia menaruh kopi bubuk di panci terakhir. Ia membiarkannya mendidih tanpa berkata-kata. Si anak membungkam dan menunggu dengan tidak sabar, memikirkan apa yang sedang dikerjakan sang Ibu. Setelah 20 menit, sang Ibu mematikan api.
Ia menyisihkan wortel dan menaruhnya di mangkuk, mengangkat telur dan meletakkannya di mangkuk yang lain, dan menuangkan kopi di cangkir.
Lalu ia bertanya kepada anaknya, “Apa yang kau lihat, nak?”
"Wortel, telur, dan kopi” jawab si anak.
Ibunya mengajaknya mendekat dan memintanya merasakan wortel itu. Ia melakukannya dan merasakan bahwa wortel itu terasa lunak. Ibunya lalu memintanya mengambil telur dan memecahkannya. Setelah membuang kulitnya, ia mendapati sebuah telur rebus yang mengeras. Terakhir, ibunya memintanya untuk mencicipi kopi. Ia tersenyum ketika mencicipi kopi dengan aromanya yang khas.
Setelah itu, si anak bertanya, “Apa arti semua ini, bu?”
Ibunya menerangkan bahwa ketiganya telah menghadapi ‘kesulitan’ yang sama, melalui proses perebusan, tetapi masing-masing menunjukkan reaksi yang berbeda.
Wortel sebelum direbus kuat, keras, dan sukar dipatahkan. Tetapi setelah direbus, wortel menjadi lembut dan lunak. Telur sebelumnya mudah pecah. Cangkang tipisnya melindungi isinya yang berupa cairan. Tetapi setelah direbus, isinya menjadi keras. Bubuk kopi mengalami perubahan yang unik. Setelah berada di dalam rebusan air, bubuk kopi merubah air tersebut.
“Kamu termasuk yang mana?,” tanya Ibunya.
“Ketika kesulitan mendatangimu, bagaimana kau menghadapinya? Apakah kamu wortel, telur atau kopi?”
"Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu adalah wortel yang kelihatannya keras, tapi dengan adanya penderitaan dan kesulitan, kamu menyerah, menjadi lunak dan kehilangan kekuatanmu.”
“Apakah kamu telur, yang awalnya memiliki hati lembut? Dengan jiwa yang dinamis, namun setelah mendapat cobaan atau mungkin patah hati. maka hatimu menjadi keras dan kaku.
“Ataukah kamu bubuk kopi? Bubuk kopi merubah air panas, sesuatu yang menimbulkan kesakitan, untuk mencapai rasanya yang maksimal pada suhu 100 derajat Celcius. Ketika air mencapai suhu terpanas, kopi terasa semakin nikmat.”
"Nak, MASALAH DALAM HIDUP ITU BAGAIKAN AIR MENDIDIH. Namun, bagaimana sikap kitalah yang akan menentukan dampaknya"
“Jika kamu seperti bubuk kopi, ketika keadaan menjadi semakin buruk, kamu akan menjadi semakin baik dan membuat keadaan di sekitarmu juga membaik.”
Kehidupan tidak selalu seperti yang kita bayangkan, seperti yang kita inginkan. Tentu ada cobaan dan tantangan yang harus kita hadapi. namun jika kita yakin dan ketahui bahwa takdir Allah SWT yang terbaik bagi kita, pasti tidak ada hal yang akan membuat kita lemah.

Semenjak itulah aku sadar bahwa apa yang terjadi pada diri ini atas kehendak Allah SWT dan dibalik cobaan pasti terselip hikmah yang sangat mendalam. Allah pun tidak akan menguji hambanya di luar kemampuaanya. (Alawy Assyihab)