Select Menu
Select Menu

Favourite

Artikel

Opini

Tokoh

Cerpen

Humor

Tips

Seni Budaya

Gallery

» » “MUNCULNYA ANOMALI DAN LUNTURNYA MARWAH SANTRI (II)”


alawysyihab 21.38 0


Saya setuju dengan sebuah statement, “STAI itu didirikan bukan berdasar pragmatisme, melainkan idelisme”. Ini menarik. Bagaimanapun idealisme merupakan salah satu bukti bahwa sebenarnya orang itu punya niatan hidup atau sekedar hidup, atau bahkan tidak punya niatan hidup sama sekali. Tanpa idealisme, sulit sekali seseorang bisa memetik kemajuan dalam hidup, sebab bagaimanapun idealisme merupakan barometernya − terlebih sebuah institusi. Bagaimana mungkin sebuah institusi dapat meraih espekatasi yang tinggi jika cita-cita sebagai patokannya tidak dipunyai. Tidak bisa dibayangkan, apa jadinya sebuah lembaga yang sudah kadung berdiri hanya saja tidak memiliki idealisme. Akhirnya, institusi berjalan ala kadarnya tanpa progres yang berarti dan hanya menjadi rutinitas ala “Glundung Semprong”. Sehingga sematan, “Hidup enggan matipun segan” menjadi sebuah keniscyaan yang tak terelakkan bagi institusi tersebut.
Jika kita berkeyakinan bahwa idelisme adalah patokan dalam menggapai kesuksesan institusi ataupun individu, maka di sisi lain idealisme merupakan nilai dasar adanya marwah seseorang. Mustahil kita mengatakan orang yang menjalanai hidupnya dengan ala kadarnya tanpa tujuan merupakan sebuah representasi orang yang bermarwah. Apakah anda setuju orang-orang tak berbusana di pinggiran jalan adalah representasi orang yang bermarwah? Lebih lanjut, jika anda mengatakan “iya”, apakah anda rela jika marwah anda disamakan dengan marwah orang tersebut? Saya yakin jawabannya tidak. Jika anda menjawab iya, berarti anda patut dibawa ke klinik Tong Fang untuk proses rehabilitasi. Kemudian, dalam konteks santri, idelisme seorang santri dapat terwujud melalui pengukuhan dan pelaksanaan identitas kultur dan budayanya. Ada sebuah statement menarik dalam kajian social dan antropolog, “Sebuah masyrakat maju, ciri khasnya adalah pengertian serta kesadaran dalam melaksanakan identitas kelasnya”. Tanpa adanya kesadaran tersebut sulit sebuah tatanan masyarakat menemukan momentum kebangkitannya secara ideal, sebab instrument peradaban tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Begitupaun dengan idealissme santri. Sejauh ini kultur dan budaya santri adalah penghormatan guru yang tak ternilai dan sikap itu sesuai dengan diktum, “Guru merupakan sosok yang patut dihormati setelah kedua orang tua”. Dalam kaitannya dengan sesi acara lalu, seharusnya kita sadar dan mencoba menyadarkan diri bahwa sebenarnya di muka-podium masih ada sosok-sosok guru yang harus dihormati. Tidak sepatutnya sikap serapah itu ditunjukkan dihadapan beliau-beliau. Kegetiran ini tambah menjadi-jadi ketika keberadaan guru tersebut hanya menjadi korban pelampiasan gelap mata kegandrungan yang tak terkontrol. Pada akhirnya mana guru mana, mana orang biasa tak ada bedanya dalam penyikapannya. Mengenai hal ini memang tidak bisa menuduh siapa yang bersalah dan siapa yang paling bersalah. Hanya saja ada sebuah kesalahan yang nyata dan patut dikoreksi secara keseluruhan. Kesalahan itu ada dalam diri serta individu yang semrawut dan kalut kala itu.
Jika kemudian ada orang yang mengatakan, “Ini bukan pondok murni. Tidak bisa disamakan dengan yang tulen dan benar-benar concern terhadap salaf. Jadi harap dimaklumi.” Saya akan tegas mengatakannya, “Iya. Tidak mungkin kita samakan dan tidak mungkin sama, karena bagaimanapun eko-sosialnya sudah berbeda sama sekali”. Tapi pertanyaannya, bukankah jiwa kita santri? Bukankah seharusnya jiwa itu terus dipupuk dan menjadi modal dasar dalam mengembangkan peradaban santri? Bukankah jiwa santri itu terus kita kawal agar benar-benar tertancap, meskipun negenai tampilan bisa diupgrade sasuai perkembangan zaman? Fakta di atas itu memang benar adanya, Akan tetapi jika fakta dijadikan dijadikan dalih untuk melangkah mundur ke belakang secara bersama, berarti itu patut dikoreksi.
Kesadaran kelas –dalam hal ini adalah kelas santri− harus dilaksanakan oleh pemilik kelas tersebut. Eksistensi kelas sebagai identitas tidak bisa kita anggurkan begitu saja tanpa adanya kesadaran pemiliknya. Kalau pemilik kelas saja tidak sadar dengan posisi kelasnya, lantas siapa yang harus sadar menyandangnya? Apakah harus orang lain di luar kelas itu? Kalau sebagai santri saja tida sadar dengan kesantriannya, lantas haruskah selain santri sadar dengan kesantrian dan embo-embo menjadi santri? Ini tidak mungkin dan sangat naif. Tampaknya, setelah melihat serangkaian fenomena di atas, sudah saatnya kita mengeratkan kembali makna adab beserta hal-hal yang terkait dengannya. Langkah ini sebagai wujud kesadaran pemilik kelas terhadap kelasnya. Pada ujungnya, idealisme ini akan tertegakkan setegak adab yang tertanam kokoh. Dan bersama dengan ini semua, marwah santri yang sempat sayup dan layu akan merekah kembali tanpa adanya kekhawatiran dan kegetiran ketika memandangnya.
*Hasyim MQ

«
Next
This is the most recent post.
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar

Leave a Reply