Select Menu
Select Menu

Favourite

Artikel

Opini

Tokoh

Cerpen

Humor

Tips

Seni Budaya

Gallery

» » » Tafsir Kontemporer, Antara Pro dan Anti Barat


alawysyihab 01.56 0


I. Pendahuluan
Dunia pemikiran Islam, dan khususnya Arab, mengalami shock modernitas, setelah Barat hadir dengan peradaban moderennya di awal abad 19. Wabah inferioritas menghinggapi para sarjana muslim ketika berhadapan dengan Barat. Salah satu respon yang muncul dari persinggungan intelektual tersebut adalah gagasan reformasi agama yang dipelopori Jamaludin Afghani (1838 – 1897) dan muridnya, Muhammad Abduh (1849 -1905). Mereka menyerukan pembaruan, kembali kepada Qur’an dan Sunnah serta membongkar tradisi intelektual lama yang dianggap stagnan.
Tak dapat disangkal bahwa gerakan pembaruan yang digemakan Afghani dan Abduh merupakan tonggak perubahan kajian tafsir di abad Moderen, sebagaimana Ibnu Jarir yang menjadi trend setter kajian tafsir di abad 3 Hijriyah. Tema kebangkitan umat, pemurnian agama, rasionalitas dan anti stagnasi yang diusung Abduh telah membuka jalan bagi kemunculan model-model baru dalam kajian tafsir. Keberaniannya melawan arus dan mendobrak kemapanan, mengilhami banyak pengkaji tafsir setelahnya untuk melakukan kajian-kajian kritis bahkan radikal. Dapat dikatakan, secara genealogis kajian tafsir kontemporer merupakan anak ideologis Abduh.
Namun demikian keberaniannya mendobrak kemapanan, bahkan bersentuhan dengan wilayah sensitif, menimbulkan kejengahan dan membalikkan arah perubahan di sebagian kalangan penafsir kontemporer. Di sisi lain, keberanian abduh dapat menjadi pembuka jalan bagi kajian tafsir yang lebih berani. Ibarat pepatah, “guru kencing berdiri murid kencing berlari”.
Makalah ini akan menelaah perkembangan tafsir kontemporer dari sudut pandang kepeloporan abduh dan respon terhadap keterpurukan umat Islam. Wa Allah al-Musta’ān.
II. Pembatasan Kontemporer
Tidak terdapat batasan ilmiah yang disepakati tentang rentang waktu era kontemporer tafsir. Johanes Jansen mencatat tafsir era moderen dimulai dari Muhammad Abduh (1849 -1905) hingga Bintu al-Shāti` (1913 – 1998)[1]. Sesuai Jansen, berarti karya Bintu al-Shāti`, al-Tafsīr al-Bayānī li al-Qur`an al-Karīm, yang diterbitkan pertama kali tahun 1962, masih termasuk era moderen. Berbeda denga Jansen, Abdurrahman al-Ḥājj membagi era moderen ke dalam dua fase, yaitu fase Abduh hingga Sayyid Qutub (1906 – 1966) dan fase pasca Sayyid Qutub hingga sekarang. Abdurrahman menyebut fase pertama sebagai era moderen dan fase kedua sebagai era kontemporer yang dimulai sejak pertengahan dekade 60-an abad 20 [2]. Sedangkan Fahd al-Rumi mencatat sembilan tokoh tafsir rasional era moderen mulai dari Afghani hingga Ahmad Musthafa al-Maraghi (1883 – 1952)[3]. Berdsarkan ketiga catatan tersebut, era kontemporer dengan batasan yang tidak rigid dimulai dari dekade 60-an dan berlangsung hingga sekarang.
Cara pandang berbeda disampaikan oleh Fayzah Abdullah al-Harbi. Ia membagi pembacaan kontemporer terhadap teks agama ke dalam tiga fase. Fase pertama dimulai pada akhir abad 19 dan awal abad 20, ketika terjadi persinggungan intelektual antara peradaban Arab dengan peradaban Barat. Tokoh-tokoh fase pertama direpresentasikan oleh Afghani, Abduh dan Rifa’ah Thahthawi, yang berupaya mengkompromikan teks agama dengan produk pemikiran Barat. Fase kedua, terjadi pada awal dekade 50-an abad 20 yang direpresentasikan oleh Thaha Husain, Amin al-Khauli dan Muhammad Ahmad Khalafullah. Mereka melakukan pembacaan teks al-Qur`an, khususnya yang terkait kisah-kisah, dengan menggunakan metodologi moderen. Fase ketiga, terjadi pada akhir dekade 60-an abad 20 yang direpresentasikan oleh Abid al-Jabiri, Arkoun, Hasan Hanafi, Abdullah al-Urawi, Nasr Hamid Abu Zaid, Husain Marwah George Tharabisyi dan lain-lain[4]. Dengan demikian era kontemporer lebih dilihat berdasarkan gelombang perubahan yang mencolok dalam kajian tafsir.
Mengacu perbedaan empat pendapat tersebut di atas, pembatasan era kontemporer bergantung kepada kepentingan kajian. Mengingat bahwa makalah ini dimaksudkan sebagai kajian pemetaan tafsir, maka mengggunakan model gelombang perubahan sebagai batasan era kontemporer akan lebih tepat. Sesuai Fayzah Abdullah, gelombang perubahan terjadi selama tiga kali. Namun, sebagaimana Abdurrahman al-Hajj, gelombang pertama lebih tepat dikategorikan sebagai era moderen. Oleh karena itu, mengikuti Fayzah Abdullah tafsir kontemporer adalah semua karya di bidang tafsir, baik dari sisi kajian metodologis maupun praktis, yang ditulis pada sejak awal dekade 50-an hingga sekarang.
III. Model Kajian Tafsir Kontemporer
Fayzah Abdullah membagi kecenderungan kajian tafsir kontemporer ke dalam dua model, yaitu: (1) model kajian yang mencoba memadukan temuan baru di bidang sain dengan teks al-Qur`an, (2) model kajian yang menggunakan sain barat sebagai alat analisis untuk membedah teks al-Qur`an[5]. Pembagian ini menggambarkan pola reaksi dunia Islam terhadap kemajuan Barat. Model pertama dapat dikatakan sebagai pola reaksi kompromi, dan model kedua merupakan pola reaksi imitasi.
Sementara Abdurrahman al-Hajj membaginya ke dalam tiga model, yaitu: (1) model kajian yang menggunakan metode orisinal Islam, (2) model kajian yang menggunakan metode Barat, (3) Model kajian yang menggunakan metode campuran. Pembagian Abdurrahman juga merepresentasikan pola reaksi. Model pretama merupakan reaksi antipati, kedua reaksi imitasi dan ketiga adalah reaksi kompromi.
Abdul Majid menggambarkan tiga pola reaksi secara berurutan sebagai berikut. Pertama adalah fase defensif di mana para sarjana muslim berusaha membuktikan bahwa Islam tidak anti kemajuan dan tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Kedua, fase imitasi di mana para sarjana Muslim menjadikan nilai-nilai Barat, atau yang biasa diklaim sebagai nilai universal, sebagai paramater untuk mengukur tingkat kelayakan Islam sebagai agama kemajuan. Misalnya, mereka mengatakan bahwa Islam agama yang tak terbatas dimensi ruang dan waktu karena di dalamnya mengandung nilai demokrasi dan mendukung kemajuan. Ketiga, fase antipati di mana para sarjana msulim menilai bahwa kebangkitan Islam disokong oleh nilai-nilai di dalam Islam itu sendiri[6].
Dengan demikian kajian tafsir kontemporer tidak terlepas dari pengaruh reaksi terhadap kemunduran Islam, baik dalam bentuk antipati, imitasi maupun kompromi. Berikut akan dibahas kecenderungan dan metode kajian tafsir kontemporer.
1. Metode Kesejarahan
Abdul Majid menyebut kecenderungan antipati sebagai kecenderungan salafi.  Menurutnya, kecenderungan salafi merupakan penerus tafsir tradisional yang sudah ada sejak masa Nabi[7]. Tiga karya tafsir diajukannya sebagai prototipe kecenderungan salafi, yaitu: Maḥāsin al-Ta`wīl karaya al-Qasimi (1866 – 1914), al-Tafsīr al-adīth karya Muhammad Izzat Darwazah (1887 – 1984) dan al-Tafsīr al-Qur`anī li al-Qur`an karya Abdul Karim Yunus al-Khatib ( 1910 – 1985). Dari ketiga karya dua di antaranya masuk dalam kategori karya tafsir kontemporer, yaitu al-Tafsīr al-adīth dan al-Tafsīr al-Qur`anī li al-Qur`an.
Di antara dua tafsir kontemporer tersebut, karya Izzat Darwazah memiliki bagian yang menekankan pentingnya mengkaitkan penafsiran al-Qur`an dengan sejarahnya. Tafsir Izzat Darwazah disusun berdasarkan urutan turunnya surat, bukan seperti umumnya tafsir klasik yang disusun berdasarkan urutan mushaf. Pola urutan ini selaras dengan apa yang ia kemukakan dalam mukaddimah bahwa cara terbaik memahami al-qur`an adalah dengan memperhatikan paralelisasi turunya al-Qur`an dengan fase-fase sejarah kenabian. Menurutnya setiap surat, atau sekelompok ayat dari satu surat menggambarkan penyikapan Nabi alla Allah ‘Alaihy wa Sallam lingkungan dan masyarakatnya[8].
Ia juga menegaskan adanya keterkaitan erat antara tradisi, nilai dan pengetahuan di lingkungan Nabi alla Allah ‘Alaihy wa Sallam saat itu dengan turunnya al-Qur`an[9]. Keterkaitan itu juga terjadi dalam bahasa. Menurutnya, bahasa al-Qur`an adalah bahasa lingkungan nabi alla Allah ‘Alaihy wa Sallam, yang familiar dan dipahami masayarkatnya dengan sempurna[10].
Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa meskipun Izzat Darwazah dikategorikan dalam kelompok salafi, namun metode yang digunakan dalam kajian tafsir berbeda dari umumnya tafsir kelompok salaf. Izzat Darwazah memunculkan model baru dalam tafsir dengan menggunakan urutan turunnya al-Qur’an. Izzat juga menegaskan pentingnya pendekatan kesejarahan dalam memahami al-Qur`an.
Namun demikian Izzat Darwazah cukup berhati-hati dalam menerapkan hal tersebut. Ia bahkan butuh waktu untuk memastikan bahwa pendekatan yang digunakannya tidak menyentuh wilayah sakral agama. Ia meminta fatwa dari Abul Yusri, Mufti Siria dan Abdul Fatah, salah satu calon mufti Alepo saat itu, tentang model tafsir yang menggunakan urutan turunnya ayat, dan bukan urutan mushaf. Kedua mufti tersebut membenarkan apa yang dilakukan Izzat[11].
Metode kesejarahan Izzat juga tidak sampai mendesakralisasi al-Qur`an. Izzat menggunakan metode tersebut untuk memahami perbedaan hukum dari dua ayat yang berbeda dalam dua fase sejarah yang berbeda pula[12].
Jika Izzat Darwazah mewakili kelompok antipati dalam menggunakan metode sejarah, maka Mohammad Arkoun dan Nasr Hamid Abu Zaid merepresentasikan kelompok imitasi[13]. Abu Zaid melangkah lebih jauh dalam menggunakan metode kesejarahan. Menurutnya, teks al-Qur`an adalah produk budaya dalam pengertian bahwa teks al-Qur`an terbentuk dalam realitas sejarah dan budaya selama lebih dari 20 tahun. Meyakini bahwa al-Qura`an bersumber dari Allah, dan karenanya mendahului realitas budaya, tidak bertentangan dengan analisis teks melalui realitas budaya. Ia menjelaskan bahwa ketika mewahyukan al-Qur`an kepada Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam, Allah telah memilih suatu sistem bahasa yang digunakan penerima pertama, yaitu Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam. Dan pilihan bahasa tidak berada di ruang hampa. Sebab, bahasa adalah instrumen sosial terpenting dalam memahami lingkungan. Oleh karena itu, tidak mungkin membicarakan bahasa terpisah dari budaya dan realitasnya. Dengan demikian kesakralan suatu teks sama sekali tidak menafikan kesejarahan teks ataupun afiliasi teks tersebut kepada budaya[14].
Abu Zaid mengilustrasikan bahwa gagasan tentang wahyu dalam al-Qur`an tidak mungkin ada dalam masyarakat yang tidak memiliki kepercayaan tentang makhluk gaib. Fenomena jin dalam nalar Arab dan keyakinan terjadinya kontak antara manusia dengan jin merupakan landasan budaya bagi munculnya gagasan wahyu. Seandainya dalam masyarakat Arab tidak terdapat keyakinan-keyakinan tentang jin, maka dari sudut pandang budaya tidak mungkin mucul gagasan tetang wahyu. Bagaimana mungkin masayarakat Arab menerima konsep turunya malaikat kepada manusia untuk menyampaikan wahyu jika konsep tersebut tidak terdapat dalam akar budaya Arab. Hal ini membuktikan bahwa al-Qur`an bukanlah fenomena yan terpisah dari realitas sejarah, bukan pula lompatan budaya yang melampaui  hukum-hukum nalar Arab. Sebaliknya al-Qur`an menjadi bagian dari konsep-konsep budaya[15].
Baik Izzat darwazah maupun Abu Zaid sama-sama memperhatikan pentingnya pendekatan kesejarahan, tetapi dengan tekanan yang berbeda. Pendekatan kesejaraha Izzat Darwazah bersifat instrumental, sementara Abu Zaid bersifat substansial.
2. Kisah-kisah dalam al-Qur`an
Problematika kisah-kisah dalam al-Qur`an pertama kali dikemukakan oleh Abduh. Baginya penuturan kisah dimaksudkan agar diambil sebagai pelajaran. Adakalanya penuturan kisah menggunakan bahasa yang mudah dipahami pendengar, meskipun tidak mencerminkan fakta sesungguhnya. ia mencontohkan, kalimat (بَلَغَ مَطْلِعَ الشَّمْسِ) (الكهف: 90) adalah bahasa yang akrab di telinga pendengar, tetapi tidak mencerminkan fakta sesungguhnya[16]. Gagasan abduh berkembang liar di tangan Taha Husain dan Muhammad Ahmad Khalafullah.
Pada era kontemporer problematika kisah-kisah dalam al-Qur`an kembali diangkat oleh Muhammad Abid Al-Jabiri yang merepesentasikan kelompok imitasi. Menurutnya, kisah-kisah dalam al-Qur`an adalah perumpaan. Kisah-kisah dalam al-Qur`an dituturkan bukan demi kisah itu sendiri, melainkan karena pengaruhnya terhadap pendengar. Kisah-kisah dalam al-Qur`an, teramsuk kisah nabi-nabi, dituturkan dalam fragmen-fragmen sesuai fase dakwah Nabi Muhammad alla Allah ‘Alaihy wa Sallam. Kisah nabi –nabi sama dengan perumpaan-perumpaan yang dituturkan al-Qur`an seabagai pelajarn, seperti perumpamaan “dua laki-laki”, perumpamaan “dua surga”, dialog penduduk surga dengan penduduk neraka di saat kiamat belum terjadi dan lain lain.
Sebagai sebuah perumpamaan kebenaran kisah di belakang perumpaan tersebut bukanlah hal pokok. Sebab, yang ditekankan dalam perumpamaan bukanlah tokohnya, melainkan tujuannya. Dalam konteks perumpaan dan kisah, kebenaran tidak terkait dengan kesesuaian perumpaan dengan fakta sejarah, melainkan dengan imajinasi dan jangkauan pengetahuan pendengar.
Kesamaan perumpaan dengan kisah ditegaskan al-Qur`an dalam banyak ayat, dan salah satunya adalah:
… فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ () سَاءَ مَثَلًا الْقَوْمُ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَأَنْفُسَهُمْ كَانُوا يَظْلِمُونَ (الاعراف: 176- 177)
Pendeknya, menurut Abid al-Jabiri kisah-kisah dalam al-Qur`an sama dengan perumpaan yang tidak menekankan kesesuaian cerita dengan fakta sejarah[17].
Penjelasan di atas memperlihatkan adanya kesamaan antara pendapat Abid al-Jabiri dengan Abduh Taha Husain dan Khalafullah dalam memposisikan kisah-kisah dalam al-Qur’an. Perbedaannya, Abid sebagaimana Abduh tidak menggunakan bahasa yang vulgar dan provokatif.
Abid melanjutkan bahwa kajian kisah-kisah al-Qur`an tidak perlu diupayakan berujung kepada sebuah kisah yang utuh dengan menambahkan detail cerita dari kitab suci lain atau sumber lain. Sebab, penggalan kisah-kisah tersebut merupakan cermin dari perjalanan sejarah dakwah Nabi alla Allah ‘Alaihy wa Sallam. Abid juga tidak peduli apakah kisah-kisah itu merupakan fakta sejarah atau bukan. Sebab menurutnya kajian kisah-kisah al-Qur`an tidak seharusnya ditekankan pada aspek pembuktian kebenaran fakta sejarah.
Sebagaimana Abduh, Muhammad Abid al-Jabiri mengemukakan bahwa al-Qur`an bukan buku cerita bukan pula buku sejarah dalam pengertian ilmiah kontemporer. Kebenaran yang disampaikan kisah-kisah dalam al-Qur`an adalah kebenaran tentang bagaimana mengambil pelajaran dari kisah tersebut. Abid mengakui bahwa kisah-kisah dalam al-Qur`an adalah fakta sejarah yang dikenal luas masyarakat Arab. Ia menyebutnya sebagai sejarah skaral[18].
Mengacu pada premis-premis di atas, Abid melakukan kajiannya dengan menggunakan urutan turunnya ayat. Ada dua tujuan yang ingin dicapai Abid dengan model kajiannya. (1) menemukan paralelisasi perkembangan kisah dengan perkembangan dakwah Islam. (2) mengetahui perubahan pola penyampaian kisah secara time series[19].
Dengan demikian dapat dipahami bahwa model pendekatan Abid dalam memahami kisah-kisah dalam al-Qur`an bersifat diakronik, tidak seperti model pendekatak tafsir tematik yang bersifat sinkronik.
3. Tafsir Tematik
Metode baru yang banyak digandrungi penafsir kontemporer adalah metode tafsir tematik. Metode analitik yang menjadi mainstreem tafsir klasik tidak mendapat perhatian seberuntung tafsir tematik di era kontemporer. Sesungguhnya tasir tematik, bukanlah hal baru. Ulama-ulama terdahulu telah melakukan penafsiran tematik. Berikut beberapa karya tafsir tematik sebelum abad 14 H. Ahkām al-Qur`an karya Abu Bakar al-Jaṣṣaṣ, Amthāl al-Qur`an karya al-Mawardi, majāz al-Qur`an karya Izzuddin ibnu Abdissalam dan masih banyak yang lain.
Namun karya-karya tematik terdahulu hanya berhenti pada kajian terhadap kata yang sama dan penggunaannya pada masing-masing kalimat. Sementara kajian tafsir tematik kontemporer mencoba mengkaitkan kata atau tema yang sama dalam satu surat atau beberapa surat dan memahaminya sebagai satu kesatuan yang koheren. Tafsir tematik baru mendapatkan teorisasi metodologisnya setelah diperkenalkannya konsep “kesatuan tema dalam al-Qur`an” oleh Muhammad Mahmud Hijazi melalui disertasi doktoralnya yang bertitel al-Tafsīr al- Wāḍi[20].
Salah satu penulis tafsir tematik era kontemporer adalah Musthafa Muslim yang merepresentasikan kelompok antipati. Musthafa membagi tafsir tematik ke dalam 2 model. (1) kajian tematik yang menyatukan ayat-ayat yang setema dalam al-Qur`an dan menyusunnya menjadi satu tulisan yang koheren. (2) kajian tematik yang menelusuri kesatuan tema dalam satu surat[21].
Tafsir tematik model pertama menuntut kemampuan seorang penafsir untuk mengumpulkan seluruh ayat yang setema. Di samping itu penafsir juga dituntut mampu menyusun ayat-ayat yang telah terkumpul dalam kerangka yang sistematis dimuali dari tema, sub tema, sub sub tema secara koheren[22]. Berdasrakan hal tersebut kajian tafsir tematik model pertama bersifat sinkronik.
Sedangkan model kedua menuntut kemampuan penafsir dalam mengidentifikasi tujuan dan tema utama suatu surat. Kemudian penafsir harus membuat penggalan-penggalan dalam satu surat dan mengakaitkan satu penggalan dengan penggalan lain dalam satu tema utama[23]. Dengan demikian model kedua merupakan pengembangan dari kajian Munasabah.
Hubungan munasabah dengan tafsir tematik model kedua ditegaskan secara eksplisit oleh Musthafa. Sebab, menurutnya, satu ayat atau sekelompok ayat yang turun dengan sebab dan dalam kejadian yang berbeda bisa saja diletakkan berdampingan dalam satu surat. Tetapi setelah dianalisi ternyata ayat-ayat tersebut memiliki kesatuan tujuan dan tema.
Dari penuturan di atas dapat disimpulkan bahwa tafsir tematik merupakan wilayah kajian yang memiliki nasab ideologis kepada tafsir klasik. Tafsir tematik lebih merupakan upaya kelompok antipati untuk menemukan terobosan baru di bidang kajian tafsir, tetapi dengan menggali dari khazanah orisinal Islam, bukan dari Barat.
4. Pembenaran Terhadap Nilai-Nilai Universal
Ketika sebuah nilai telah dikesankan sebagai nilai universal mala orang berupaya mengidentifikasi diri sebagai pengikut atau bahkan pemilik nilai tersebut. Kecenderungan ini juga terjadi pada penafsir kontemporer. Seperti disebutkan di atas penafsiran model ini merepresentasikan kecenderungan kompromistis.
Beberapa isu yang dianggap sebagai nilai universal di antaranya adalah, kesetaraan gender, demokrasi, kebebasan dan persamaan hak. Sekali lagi Abduh menjadi yang terdepan dalam membela mengkompromikan nilai-nilai universal dengan teks al-Qur`an. Abduh berpendapat bahwa poligami tidak menciptakan iklim pendidikan yang sehat. Poligami juga dinilai mencederai harkat dan martabat perempuan[24]. Dalam tafsir kontemporer Abdul Karim al-Khatib disebut mengikuti jejak Abduh dan Qasim Amin. Ia seringkali terlihat lebih condong kepada perempuan[25].
IV. Kesimpulan
Keterpurukan umat Islam pada abad moderen telah mendorong banyak sarjana Muslim untuk melakukan perubahan-perubahan termasuk dalam kajian tafsir. Arah perubahan yang dilakukan sebagai respon atas keterpurukan itu dapat dikategorikan menjadi tiga pola, yaitu antipati, kompromi dan imitasi. Ketiga pola ini kemudian melahirkan model, metode, pendekatan dan kecenderungan baru dalam kajian tafsir kontemporer.
Berikut beberapa perubahan yang dapat dicatat dari tafsir kontemporer. (1) Model kajian tafsir yang menggunakan urutan turunnya ayat, bukan urutan mushaf. Model ini menjadi trend, baik di kalangan kelompok antipati, kompromi maupun imitasi. (2) Pendekatan kesejarahan dalam memahami teks al-Qur`an. Penggunaan pendekatan ini di kalangan kelompok antipati hanya bersifat instrumental sedangkan di kalangan imitasi bersifat substansial. (3) Pendekatan diakronik dalam memahami kisah-kisah dalam al-Qur`an sesuai fase-fase dakwah Nabi Muhammad alla Allah ‘Alaihy wa Sallam. (4) Pendekatan kesatuan tema atau metode tafsir tematik. Metode tafsir yang bersifat sinkronik ini menjadi monopoli kelompok antipati. (5) Kecenderungan mengkompromikan teks al-Qur`an dengan nilai-nilai universal. Kecenderungan ini merepresentasikan kelompok kompromi.©2013
Bibliografi
Abdussalam, Abdul Majid, Ittijā,hāt al-Tafsīr fi al-‘Asr al-Rāhin, Aman, Maktabat al-Nahḍah al-Islāmiyah, 1982
Abu Zaid , Nasr Hamid, Mafhūm al-Naṣṣ, Dirāsat fi ‘Ulūm al-Qur`an. Cairo, al-Hayah al-Misriyah al-‘Āmmah li al-Kitāb, 1990
Darwazah , Muhammad Izzat, al-Tafsīr al-Ḥadīth, Cairo: Dār Iḥyā` al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1383 H.
al-Harbi, Fayzah Abdullah, “al-Manāhij al-Mu’āṣirah li Qir`āat al-Naṣṣ”, dalam http://www.alukah.net/sharia/0/42391/, (11 Oktober 2013).
Ibrahim, Abdurrahman al-Ḥājj, “al-Manāhij al-Mu’āṣirah fi Tafsīr al-Qur`an al-Karīm wa Ta’Wīlih”, Risālat al-Masjid, 01, (2002)
Muhammad Abid al-Jabiri, Madkhal ila al-Qur`an al-Karīm, Beirut, Markz Dirāsāt al-Wahdah al-‘Arabaiyyah, 2006
Muhyiddin, Hazim, “Kitāb al-Tafāsīr al-Qur`āniyah fi Misr al-Ḥadīthah, ‘Arḍ wa Naqd”, Thaqāfatunā, 20, (2010)
Musthafa Muslim, Mabāhith fi al-Tafsīr al-Mawḍu’ī, Damaskus. Dār al-Qalam, 2000
Ridla, Muhamma Rasyid, Tafsīr al-Manār, Cairo: al-Hayah al-Misriyah al-‘Āmmah li al-Kitāb, 1990
al-Rumi, Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyah al-Ḥadīthah fi al-Tafsīr, Cairo, Dār al-Risālah, 1983


[1] Hazim Muhyiddin, “Kitāb al-Tafāsīr al-Qur`āniyah fi Misr al-Ḥadīthah, ‘Arḍ wa Naqd”, Thaqāfatunā, 20, (2010), 210.
[2] Abdurrahman al-Ḥājj Ibrahim, “al-Manāhij al-Mu’āṣirah fi Tafsīr al-Qur`an al-Karīm wa Ta’Wīlih”, Risālat al-Masjid, 01, (2002)
[3] Lihat, Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman al-Rumi, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyah al-adīthah fi al-Tafsīr, (Cairo: Dār al-Risālah, 1983),
[4] Fayzah Abdullah al-Harbi, “al-Manāhij al-Mu’āṣirah li Qir`āat al-Naṣṣ”, dalam http://www.alukah.net/sharia/0/42391/, (11 Oktober 2013).
[5] Fayzah Abdullah al-Harbi, “al-Manāhij al-Mu’āṣirah li Qir`āat al-Naṣṣ”, dalam http://www.alukah.net/sharia/0/42391/, (11 Oktober 2013).
[6] Abdul Majid Abdussalam, Ittijā,hāt al-Tafsīr fi al-‘Asr al-Rāhin, (Aman: Maktabat al-Nahḍah al-Islāmiyah, 1982), 34-35.
[7] Ibid, 39.
[8] Muhammad Izzat Darwazah, al-Tafsīr al-adīth, (Cairo: Dār Iḥyā` al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1383 H.), 1: 9,142.
[9] Ibid 1:144.
[10] Ibid, 1:147.
[11] Ibid, 1:10.
[12] Ibid, 1:142-143.
[13] Abdurrahman al-Ḥājj Ibrahim, “al-Manāhij al-Mu’āṣirah fi Tafsīr al-Qur`an al-Karīm wa Ta’Wīlih”, Risālat al-Masjid, 01, (2002), 15.
[14] Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhūm al-Naṣṣ, Dirāsat fi ‘Ulūm al-Qur`an. (Cairo: al-Hayah al-Misriyah al-‘Āmmah li al-Kitāb, 1990), 27.
[15] Ibid, 38.
[16] Muhamma Rasyid Ridla, Tafsīr al-Manār, Cairo: al-Hayah al-Misriyah al-‘Āmmah li al-Kitāb, 1990), 1:330.
[17] Muhammad Abid al-Jabiri, Madkhal ila al-Qur`an al-Karīm, (Beirut: Markz Dirāsāt al-Wahdah al-‘Arabaiyyah, 2006), 257-258.
[18] Ibid, 260
[19] Ibid
[20] Abdurrahman al-Ḥājj Ibrahim, “al-Manāhij al-Mu’āṣirah fi Tafsīr al-Qur`an al-Karīm wa Ta’Wīlih, 6
[21] Musthafa Muslim, Mabāhith fi al-Tafsīr al-Mawḍu’ī, (Damaskus: Dār al-Qalam, 2000), 37, 40.
[22] Ibid, 37.
[23] Ibid, 40
[24] Abdul Majid Abdussalam, Ittijā,hāt al-Tafsīr fi al-‘Asr al-Rāhin, (Aman: Maktabat al-Nahḍah al-Islāmiyah, 1982), 191.
[25] Ibid, 85.

«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar

Leave a Reply