PERADABAN ARAB DALAM AL QUR'AN*
alawysyihab
01.57
0
PERADABAN ARAB DALAM AL QUR'AN*
Oleh:
Abdul Ghofur Maimun**
Dalam studi-studi al quran, (sesuai
pengamatan subyektif saya) kita sering terjebak dalam lingkaran
episteme-episteme Ilahiyyat. Misalkan, ketika kita memulai studi ini, kita
langsung dihadapkan pada devinisi al-Quran yang "entah kenapa" sering
mengajak penelaahnya untuk melangkah pada dimensi Ilahiyyat ini. Saya, sebagai
contoh, sejak kecil sudah dikasih pelajaran Tafsir (setidak-tidaknya Jalalain),
tapi "entah kenapa" saya tidak begitu terusik untuk menanyakan,
misalnya, pada ardhiyyah budaya bagaimanakah al-Quran itu diturunkan? (dua
baris kata dalam tanda petik bisa kita diskusikan bersama).
Memang dimensi Ilahiyyat ini adalah
suatu keniscayaan, namun persoalannya jadi lain ketika akibatnya, dimensi
kemanusiaan al-Quran terlupakan, atau setidak-tidaknya amat ketinggalan. Ini
lain tentunya dengan metodologi yang dibangun oleh para orientalis untuk
studi-studi al-Quran, di mana dimensi kemanusiaan dalam studi-studi mereka
seringkali mendapatkan porsi yang cukup. Karen Armstrong misalnya, ketika
menyinggung soal i'jazul Quran, ia tidak dipusingkan dengan nilai
sastra-nya yang begitu tinggi, juga tidak oleh berapa jumlah kalimatnya yang
berlawanan, ia hanya mencukupkan bahwa al-Quran dalam beberapa abad, sejak
diturunkannya hingga sekarang tetap mampu menjadi sumber inspirasi kaum
Muslimin.
Ironisnya, kesadaran akan orisinilitas
metodologi ini justru dimotori oleh mereka yang sering kita sebut sebagai
sekuler dalam arti yang negatif. Kenapa ironis? Karena hal demikian ini
akhirnya memposisikan kita (Islamiyyun) hanya sebagai mudafi' (re-aktif) dan
bukan muhajim (pro-aktif). Makanya, dalam literasi Universitas kebanggaan kita,
kita benar-benar di"kenyangkan" dengan sub judul "difa' 'an al
shubuhat", tapi sangat jarang kita dikenalkan dengan objek studi itu
sendiri secara komprehensif.
***
Disebutkan dalam Surat 12:02, 20:113, 39:28, 41:03, 42:07 dan 43:03, "Quraanan 'arobiyyaa", dua baris kata yang belum banyak tersentuh dengan baik secara analitis. Dua kalimat ini bukan saja berarti al Quran yang berbahasa Arab, tapi lebih dari itu, ia juga berarti al Quran yang dalam setiap penggunaan kalimatnya menyimpan tata-cara kehidupan bangsa Arab.
Disebutkan dalam Surat 12:02, 20:113, 39:28, 41:03, 42:07 dan 43:03, "Quraanan 'arobiyyaa", dua baris kata yang belum banyak tersentuh dengan baik secara analitis. Dua kalimat ini bukan saja berarti al Quran yang berbahasa Arab, tapi lebih dari itu, ia juga berarti al Quran yang dalam setiap penggunaan kalimatnya menyimpan tata-cara kehidupan bangsa Arab.
Kalau hendak membuat gambaran yang
mudah, bisa dimisalkan demikian: al-bait, dalam artinya yang umum, adalah
sebuah bangunan sedemikian rupa hingga layak untuk dijadikan sebagai tempat
tinggal. Tapi coba kalimat tsb kita ucapkan didepan orang Mesir dan orang Indonesia,
maka nanti yang akan terbayang oleh orang Mesir adalah sebuah bangunan yang
membumbung tinggi. Sementara yang terbayang dalam benak orang Indonesia adalah
sebuah bangunan yang ada gentengnya .. halamannya .. dst. Barangkali memang
benar bahwa setiap kalimat pasti menyimpan nilai-nilai kebudayaan, yang luas
dan sempitnya tergantung esensi kalimat itu sendiri dalam kebudayaan yang
bersangkutan.
Demikian ini, jika ditelaah lebih
lanjut, akan memunculkan beberapa tada'iyyat (asosiasi). Pertama: al Quran
harus difahami sesuai dengan budaya arab waktu itu. Kedua: karenanya,
penelusuran terhadap fase Makky dan fase Madani dalam setiap pemahaman al Quran
teramat urgen. Dan ketiga, menelaah kembali hubungan antara al waqi' dan an
nazil, atau antara wahyu Tuhan dan -- apa yang dalam bahasa undang-undang
modern diistilahkan-- al a'mal attahdhiriyyah lil qonun.
***
Pertama: al-Qur an harus difahami sesuai dengan budaya Arab waktu itu.
Pertama: al-Qur an harus difahami sesuai dengan budaya Arab waktu itu.
Telah diterangkan dalam al-Quran, bahwa
al quran diwahyukan oleh nabi dengan bahasa yang jelas, yang mampu di fahami
oleh kaumnya. Firman Allah dalam 12:01: "Alif, laam, raa . Ini adalah
ayat-ayat Kitab (Al Qur'an) yang nyata", dan dalam 16:103:
sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata: "Sesungguhnya Al Qur'an
itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)". Padahal bahasa
orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa 'Ajam,
sedang Al Qur'an adalah dalam bahasa Arab yang terang.
Kalau kedua ayat tersebut kita dukung
dengan ayat 4 (empat) surat Ibrahim: "Kami tidak mengutus seorang
rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan
dengan terang kepada mereka", maka barangkali kita bisa sepakat
bahwa standar kebenaran yang kita pakai dalam memahami al Quran adalah standar
kebenaran waktu diturunkanya al Quran.
Selain alasan ini, ada alasan lain yang
sangat penting, kenapa kita harus memakai standar 'ashrul wahyi'. Pertama:
kalau kita memakai standar era pasca-wahyu, maka ini berarti membiarkan kaum
muslimin era-wahyu dalam kesalahannya memahami al Quran. Kedua:
Kefahaman-kefahaman era wahyu yang lebih dekat kepada tauqify tidak pernah
menjadi mutlak (absolut), karena dimungkinkan salah.
Untuk menjelaskan keterangan dimuka,
akan saya kemukakan dua contoh. Pertama menyangkut al-ro'du dan al-barqu yang
telah disinggung Bpk. Quraisy minggu lalu. Kalau memang benar, bahwa al-ro'du
dan al-barqu adalah suara dan percikan api dari cemetinya malaikat, adakah
malaikat itu difahami oleh kaum Muslimin ashrul wahyi sebagai hukum alam? Kalau
tidak, dan kemudian difahami oleh Mohammad Abduh sebagai hukum alam, apakah ini
tidak berarti membiarkan mereka dalam kesalahannya.
Kedua: "iqro" dalam surat
al-'alaq, apakah ia dari kata "qara a" yang mempunyai arti
mengumpulkan (jama'a) atau dari "qara a" yang mempunyai arti
mengulang-ulang (raddada). Dalam hal ini, Nasr hamid cenderung mengikuti
kemungkinan yang kedua, yakni hanya sekedar mengulang-ulang tanpa harus ada
teks-nya. Menurutnya, ini sesuai dengan budaya Arab waktu itu yang tidak
mengenal baca tulis. Selain ini, dalihnya, ada ayat yang mendukung pendapat
ini: "inna 'alaynaa jam'ahuu wa qur anah-u, faidzaa qara naahu-u fattabi'
quraanah-u", dimana kalimat "qur anah-u" di athofkan pada
kalimat "jam'ah-u", padahal athof dalam gramatika Arab berimplikasi
"mughoyarah" (perbedaan arti antara ma'tuf dan ma'tuf 'alaih).
Apalagi jika kita menengok bagian kedua ayat tersebut (faidzaa qara nahuu
fattabi' qur anah-u) yang jelas mendukung pengartian demikian ini. Kedua:
Penelusuran Fase Makky dan Madany teramat urgen dalam memahami al-Quran.
W. Robertson Smith ketika menyoal
agama-agama samawi menyatakan, bahwa agama-agama samawi ini harus
memeperhitungkan serta menyikapi dengan cermat setiap kepercayaan dan tradisi
agama-agama sebelumnya, baik menerima atau menolaknya. Karena bagaimanapun
agama-agama tsb. tidak mungkin dibangun di atas landasan yang hampa image
keagamaan, seakan-akan memulai hal yang baru.
Lebih lanjut ia menegaskan, setiap
konstruksi akidah yang baru, tidak akan mendapatkan pengikut kecuali dengan
cara mengetuk fitrah serta perasaan-perasaan agamis. Dan untuk mencapai ini,
tidak ada jalan lain kecuali dengan cara mempertimbangkan tipe-tipe keagamaan
tradisional yang ada. Maka, kata Robertson, untuk memahami setiap konstruksi
keagamaan agama samawi dengan sebaik baiknya, serta menelusuri perjalanan
sejarahnya, kita harus memahami terlebih dahulu agama-agama tradisional
sebelumnya.
Mengacu pada premis-premis diatas,
berarti dalam memahami kandungan al-Quran serta perjalanan sejarahnya, kita
harus memahami watak sosial Arab, terutama Arab Makkah dan Madinah dan juga
perjalanan sejarah Islam pada dua tempat tsb.
Memang, untuk memahaminya dengan baik,
diperlukan penelitian yang intens. Dan ini tentu membutuhkan waktu serta keuletan
yang super.
Ketiga: Menelaah Kembali Antara al
waqi' dan An nazil.
Ada dua pembahasan yang nampak
paradoks ketika meneliti hubungan antara wahyu dan al waqi' yang menjadi
ardhiyyah diturunkannya. Pertama: apakah yang diambil sebagai pertimbangan,
umumullafdzi atau khususus sabab. Kedua: Keharusan mempertimbangkan al A'mal
attahdhiriyyah (asbabun nuzul) dalam setiap keputusan-keputusan wahyu.
Menurut penelitian Azzurqoni, ulama'
sepakat untuk mempertimbangkan umumul lafdzi dalam arti yang "luas".
Karena, menurutnya, pendapat yang hanya mempertimbangkan khususus sabab dalam
arti yang sempit sangat irasional. Ini berarti pemusatan pandangan
terdadap wahyu. Sementara kalau kita menilik pada bagian yang kedua justru kita
dituntut untuk selalu menatap kebawah dalam setiap keputusan wahyu.
Menurut hemat saya, dua cara pandang
ini dapat kita satukan dalam satu kesatuan yang sangat positif: cara pandang
pertama mengenai tabiat hukum yang sering kita katakan kaku: 'hitam atau
putih'. Sementara cara pandang kedua adalah merupakan filsafat hukum yang bisa
menjadikannya lentur.***.
*Peserta program S2 Fakultas
Ushuluddin, jurusan Tafsir Al-Azhar University.
**Pengantar Diskusi bersama Bpk. Prof. DR. Quraisy Shihab
**Pengantar Diskusi bersama Bpk. Prof. DR. Quraisy Shihab
Tidak ada komentar