Imam al-Syafi’i: Pembela Sunnah Nabi
alawysyihab
01.53
0
Imam al-Syafi’i: Pembela Sunnah Nabi
Nama dan Nasab
Nama aslinya adalah Muhammad. Berikut ini nasab lengkap al-Syafi`i:
Muhammad bin Idris bin al-`Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin
‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin
Qushay. Nasab al-Syafi`i bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu
Manaf bin Qushay. Dengan begitu, al-Syafi`i masih termasuk sanak
kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh
al-Syafi`i , yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Ayah al-Syafi`i, Idris, berasal dari daerah
Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia
seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu
berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah
Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana.
Syafi’, kakek dari kakek al-Syafi`i , -yang namanya menjadi sumber
penisbatan al-Syafi`i (al-Syafi’i)- menurut sebagian ulama adalah
seorang sahabat shigar (muda) Nabi. As-Saib, bapak Syafi’, sendiri
termasuk sahabat kibar (tua) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam.
Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar.
Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan
masuk Islam.
Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadis bersepakat bahwa Imam
al-Syafi`i berasal dari keturunan Arab murni. Imam al-Bukhari dan Imam
Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut
dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah
pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan madzhab Maliki dan
madzhab Hanafi yang menyatakan bahwa Imam al-Syafi`i bukanlah asli
keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’
saja. Adapun ibu al-Syafi`i , terdapat perbedaan pendapat tentang jati
dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin
‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari
kabilah Azadiyah yang memiliki nama Ummu Habibah. Imam an-Nawawi
menegaskan bahwa ibu Imam Syafi’i adalah seorang wanita yang tekun
beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih
dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.
Waktu dan Tempat Kelahirannya
al-Syafi`i dilahirkan pada tahun 150. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah
wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa
al-Syafi`i adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.
Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa
tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh
ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di
perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir). Tepatnya di sebelah Selatan
Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat
lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat
digabungkan dengan dikatakan bahwa al-Syafi`i dilahirkan di sebuah
tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun,
al-Syafi`i dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk
negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah
Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, al-Syafi`i dibawa
ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan
terlupakan.
Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu
Di Mekkah, Imam al-Syafi`i dan ibunya tinggal di dekat Syi’bu al-Khaif.
Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya
ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela
tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam
menghafal. Imam Syafi’i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat
menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan
murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika
saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, ‘Tidak
halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.’” Dan ternyata
kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya
(mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi
menginjak usia baligh, al-Syafi`i telah berubah menjadi seorang guru.
Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, al-Syafi`i kemudian
beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana.
Sekalipun hidup dalam kemiskinan, al-Syafi`i tidak berputus asa dalam
menimba ilmu. Al-Syafi`i mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit,
pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai
tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan
tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadis-hadis Nabi. Dan
itu terjadi pada saat al-Syafi`i belum lagi berusia baligh. Sampai
dikatakan bahwa al-Syafi`i telah menghafal Alquran pada saat berusia 7
tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum al-Syafi`i berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Al-Syafi`i juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan
syair-syairnya. Al-Syafi`i memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman
bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian
bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana
al-Syafi`i telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal
seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal
yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah
berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah
menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua
orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan
al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka al-Syafi`i
pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah al-Syafi`i melakukan
pengembaraannya mencari ilmu.
Al-Syafi`i mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya,
Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-’Athar,
Muhammad bin Ali bin Syafi’ -yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan
bin ‘Uyainah -ahli hadis Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki,
Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini,
al-Syafi`i mempelajari ilmu fiqih, hadis, lughoh, dan Muwaththa’
Imam Malik. Di samping itu al-Syafi`i juga mempelajari keterampilan
memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi
pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa
dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.
Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul
keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil
ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas,
penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah al-Syafi`i ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, al-Syafi`i membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Al-Syafi`i menjalani mulazamah
kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat
pada tahun 179. Di samping Imam Malik, al-Syafi`i juga mengambil ilmu
dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz
ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma’il bin Ja’far, Ibrahim bin Sa’d dan
masih banyak lagi.
Setelah kembali ke Mekkah, al-Syafi`i kemudian melanjutkan mencari ilmu
ke Yaman. Di sana al-Syafi`i mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin
dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari
Yaman inilah al-Syafi`i mendapat cobaan -satu hal yang selalu dihadapi
oleh para ulama, sebelum maupun sesudah al-Syafi`i -. Di Yaman, nama
al-Syafi`i menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya
menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga
penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat
kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun al-Rasyid, Mereka
menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari
kalangan Alawiyah.
Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi’i hidup pada masa-masa awal
pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani
Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir
selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah.
Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan
pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka
sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang
mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi’i
secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi
musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli
fiqih selainnya, al-Syafi`i pun menampakkan secara terang-terangan rasa
cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikit pun, suatu sikap yang
saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu’ (menjadi syi'ah), padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang syi’ah. Bahkan Imam Syafi’i menolak keras sikap tasysyu’
model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar,
serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini
kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan al-Syafi`i kepada Ahlu
Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang
terdapat dalam Al-Quran maupun hadis-hadis shahih. Dan kecintaan
al-Syafi`i itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh
orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.
Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan
pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam
keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah.
Al-Syafi`i bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan
Khalifah Harun al-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang
dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia
menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada
gilirannya, Imam al-Syafi’i berusaha memberikan penjelasan kepada
Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari
Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, al-Syafi`i berhasil meyakinkan
Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya
al-Syafi`i meninggalkan majelis Harun al-Rasyid dalam keadaan bersih
dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan
untuk tinggal di Baghdad.
Di Baghdad, al-Syafi`i kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu.
Al-Syafi`i meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu
al-Syafi`i berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan.
Selain itu, kepada Isma ‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy
dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, al-Syafi`i
kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia
mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan
jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama
al-Syafi`i dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti
pengajarannya sampai akhirnya nama al-Syafi`i makin dikenal luas. Salah
satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi
mengirim surat kepada Imam al-Syafi’i memintanya untuk menulis sebuah
kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka al-Syafi`i pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.
Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, al-Syafi`i kembali
melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong
madzhab Ash-habul Hadis di sana. Al-Syafi`i mendapat sambutan
meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut
namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadis merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika al-Syafi`i datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Al-Syafi`i menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197
al-Syafi`i balik ke Mekkah. Di sana al-Syafi`i mulai menyebarkan
madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk
dari lautan ilmunya. Tetapi al-Syafi`i hanya berada setahun di Mekkah.
Tahun 198, al-Syafi`i berangkat lagi ke Irak. Namun, al-Syafi`i hanya
beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik.
Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam (muktazilah),
dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara
Imam Syafi’i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam.
Al-Syafi`i tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh
-yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah
syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam (mukatizalh) menjadikan
akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah,
menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa
akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Al-Syafi`i tahu betul
kebencian meraka kepada ulama ahlu hadis. Karena itulah al-Syafi`i
menolak madzhab mereka.
Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah
mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu hadis. Salah satunya
adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah (hari penuh bencana),
ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka
menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk
penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad
bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam al-Syafi’i kemudian memutuskan
pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi
akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir,
al-Syafi`i mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana al-Syafi`i
berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk
merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya al-Syafi`i menemui akhir kehidupannya di sana.
Keteguhannya Membela Sunnah
Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits,
al-Syafi`i dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah
selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber
hukumnya. Al-Syafi`i selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan
menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari
kalangan ahli kalam. Al-Syafi`i berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, al-Syafi`i mendapat gelar Nashir as-Sunnah..
Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan al-Syafi`i kepada Ahli Ilmu
Kalam, mengingat perbedaan manhaj al-Syafi`i dengan mereka. Al-Syafi`i
berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber
dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari
selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi
al-Syafi’i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadis, maka dia
akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik
sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam al-Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya.” Al-Muzani berkata, “Merupakan madzhab Imam al-Syafi’i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Al-Syafi`i melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.”
Ketidaksukaan al-Syafi`i sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum
bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu
dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara
kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang
yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.
Wafatnya
Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, al-Syafi`i menderita
penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya
itu bertambah parah hingga akhirnya al-Syafi`i wafat karenanya.
Al-Syafi`i wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir
bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah
memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Al-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam al-Syafi’i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada al-Syafi`i , “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah?” Al-Syafi`i menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus.”
Karangan-Karangannya
Sekalipun al-Syafi`i hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya
melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah
menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq
mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab
tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan
jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu
an-Nadim dalam al-Fahrasat. Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.
Sumber:
- Al-Umm, bagian muqoddimah hal. 3-33
- Siyar A’lam an-Nubala’
- Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi’, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi ‘i fi Itsbat al-’Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi ‘i.
Tidak ada komentar