PENTINGNYA PERAN PESANTREN DALAM MENJINAKKAN RADIKALISME KAUM MUDA
alawysyihab
15.19
0
PENTINGNYA PERAN PESANTREN
DALAM MENJINAKKAN RADIKALISME KAUM MUDA
Oleh: Hasyim
Asy’ari MQ
Abstract
The
issue of "The Radicalism of Youth Generation" later transformed as an
interesting topic to be discussed, along with the epidemic of young people who
was becoming the victims of radicalism. This phenomenon was caused by the
weakness of character, as well as a shallow understanding of religion and
textual. This study attempted to look carefully what the fundamental issues,
and why the young people were more easily radicalized. Furthermore, considers pesantren
(boarding schools) as an appopriate place in dealing youth radicalism, because pesantren
in its applied education has a dual system, ie educational character and building character.
Keywords:
Radicalism of youth, Pesantren, Educational characther, Building character.
I.
PENDAHULUAN
Radikalisme merupakan isu
menarik untuk diperbincangkan dan menjadi topik hangat yang tak
berkesudahan.Radikalisme diyakini oleh kebanyakan kalangan sebagai asal mula
gerakan terorisme, meskipun secara konsep, antara radikalisme dan terorisme
sangat berbeda.Dalam lingkup penanganan, radikalisme belum tertanani dengan
baik.Hal ini dapat dilihat dengan adanya penemuan-penemuan dalam studi kasus “Radikalisme
Kaum Muda” belakangan ini.
Pada perkembangannya, radikalisme lebih banyak
mempengaruhi kaum muda hingga memunculkan adagium “Yang muda yang radikal”.Kaum
muda pada umumnya lebih mudah dipengaruhi karena memiliki dua sisi kekosongan−disamping
memiliki kejiwaan yang labil yang disebut sebagai “Krisis identitas”.Kekosongan
tersebut adalah,dangkalnya pengetahuan agama kaum mudadan lemahnya karakter
kaum muda yang disebabkan tidak adanya pendidikan berkarakter serta pendidikan
karakter.
Pesantren merupakan sanggar yang tepat untuk
merehabilitasi kekosongan yang terdapat pada kaum muda.Karena pesantren dalam
tataran pendidikannya memiliki dua tahapan yang harus dilalui oleh peserta
didik, yakni tahapan pendidikan berkarakter serta pendidikankarakter.Dengan adanya pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada pemahaman
materi, diharap kaum muda bukan saja menjadi orang yang tahu namun juga sanggup
merefleksikan ilmunya kedalam sikap kesehariaanya dan pada akhirnya radikalisme
kaum muda dapat terjinakkan.
II.
PENGERTIAN RADIKALISME DAN TERORISME
A. RADIKALISME
Secara bahasa, Radikalisme
berasal dari kata radical yang mempunyai arti akar atau dasar−dasar bagi segala sesuatu.Sebagai
kata benda, radikal merupakan seseorang yang berpandangan radikal dalam politik
maupun agama.Radikalisme berarti belief in radical ideas and principles
(Hornby, 1995:985).Berpikir tentang suatu hal secara mengakar dan mendasar
dinamakan radikal, baik berpikir dalam konteks agama, sosial, politik dan sebagainya.
Dengan istilah tersebut, kita jamak menjumpai istilah radikal yang dipakai dalam beberapa bidang seperti halnya
sosial radikal, ekonomi radikal dan lain-lain.
B.
TERORISME
Sedangkan
terorisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, penggunaan kekerasan untuk menimbulkan
ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik); praktik
tindakan terror. Sementara dalam black law dictionary,terorisme diistilahkan: the
use or threat of violenceto
intimidateorcausepanicespeciallyasa meandsof affecting politicalconduct (penggunaan
atau ancamankekerasan khususnyauntuk mengintimidasi atau menyebabkan kepanikan sebagai alat untuk pengaruhi sikap politis).
Dengan demikian, terorisme adalah sebuah sikap intimidasiagar tujuan yang
diinginkan bisa tercapai, meskipunn dengan konsekuensi adanya kekerasan fisik.
Dengan begitu,radikalisme agama adalah, sebuah prinsip
kegamaanyang monolitik dalam idealismenya, sehingga dalampraktiknya lebih
sering memaksakan kehendak terhadap orang lain.Berbicara mengenai radikalisme,
sebenarnya yang menjadi pokok
permasalahan bukanlah getolnya pandangan seseorang terhadap nilai agama.
Melainkan pemahaman yang tekstual dan sikap memaksakan kehendak atas realitas
yang ada.Sehingga semua hal harus mengikutiirama imajinatifnya– yang sebenarnya masih perlu dipertanyakan kebenarannya.Hal-hal yang seperti ini diperparah dengan pijakan
pengetahuan yang sangat minim dan terbatas terhadap agama itu sendiri.
III.
TINJAUAN UMUM RADIKALISME KAUM MUDA
A. FENOMENA
RADIKALISME KAUM MUDA
Belakangan
ini muncul adagium “Yang muda yang radikal” seiring dengan maraknya
kasus radikalisme menjangkit kaum muda. Kaum muda sendiri keberadaannya menjadi
santapan empuk bagi tumbuh kembangnya radikalisme.Hal ini lebih dikarenakan
kaum muda merupakan fase yang disebut sebagai “Krisis identitas”. Dengan sebab
ini, jamak dijumpai bahwa pergaulan kaum muda identik dengan pergaulan yang
bebas dan otonom, dengan dalih mencari
jati diri.Dan pada akhirnya permasalahan ini dapat mengahantarkan pemuda pada
radikalisme.
Pada tahun 2011, MAARIF institute, mengadakan
riset terhadap beberapa lembaga pendidikan, riset ini dilakukan di empat
daerah, Pandeglang, Cianjur, Jogjakarta dan Solo. Hasil riset tersebutmenarik
untuk direnungkan, bahwasanya lembaga pendidikan dengan jenjang SMP-SMA kini
menjadi basis penyebaran, dan bahkan para murid sudah mulai terjangkit. Hal ini
ditenggarai dengan adanya sikap dan alur berpikir yang mengarah terhadap
radikalisme, condong menyalahkan orang lain serta gemar berpikir dengan
kerangka monolitik.
Seperti halnya MA’ARIF Institute, LaKIP
(Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian)
membeberkan hasil survei jajak pendapat dengan beberapa siswa. Dari survei
tersebut, bahwasanya dari 993 siswa SMP dan SMA yang diwawancarai, 50% setuju
dengan aksi radikal demi agama, 14.2% setuju dengan aksi yang dilakukan oleh Imam
Samudera, Amrozi, dan Nurdin M Top, dan 25.8% berpendapat, bahwa pancasila
tidak relevan lagi bagi Indonesia. Data tersebut memberikan penilaian, betapa
rentannya “kaum muda” terhadap penyusupan dan pengaruh radikalisme. Meskipun
masih banyak kalangan yang menanyakan validitas dari survei tersebut, namun
setidaknya berangkat dari penemuan tersebut, kita sebagai bangsa yang besar
dapat meresponnya sebagai bahan refleksi dan introspeksi diri..
B. FAKTOR
FUNDAMENTAL
Menurut Graham Fuller dalam bukunya “Apa
jadinya dunia tanpa Islam?”, memberikan statement mengenai faktor
radikalisme kaum muda, “Kebanyakan pemuda teradikalisasi oleh situasi lapangan:
kependudukan asing, perasaan terkalahkan; hasrat balas dendam”. Terangnya.
Berbeda dengan Graham Fuller, menurut Erik H. Erikson seorang pendekar
psikologi memberikan pandangan, kaum muda lebih mudah terjangkit radikalisme
karena mereka merupakan fase “krisis identitas”, fase dimana mereka selalu
mencari jati diri serta hakikat kehidupannya.
Meskipun banyak faktor yang menjadi variable
dalam penyebaran radikalisme, namun terdapat tiga faktor mendasar penyebab terjadinyaradikalime. Setiap fenomena
radikalisme tidak lepas dari ketiga faktor tersebut, yaitu: pemahaman agama
yang dangkal serta lemahnya karakter. Lemah karakter sendiri, ada kalanya disebabkan
oleh tidak adanya pendidikan berkarakter atau pendidikan karater itu sendiri.
1.
Pemahaman
Agama yang Dangkal.
Tidak
bisa dipungkiri, ketika radikalisme agama muncul kepermukaan, unsur agama dan
pengetahuannya tidak dapat dipisahkan begitu saja.Jelas terlihat, bahwa
fenomena radikalisme agama mucul seiring dengan adanya permasalahan penahaman
agama; pemahaman yang dangkal.Pemahaman yang demikian dapat menyebabkan
timbulnya fantasi terhadap nilai agama, dan hal ini merupakan titik awal
tumbuhnya radikalisme.
2.
Pendidikan
Berkarakter.
Dalam
perkembangannya, radikalisme tidak saja mengincar orang yang tidak
berpendidikan, sebaliknya, orang dengan latar pendidikan mapan pun tak luput
dari pengaruhnya.Sebagaimana fenomena Agung Setiadi yang direkrut sebagai
Disainer Cyber Terorism. Kemudian kasus ini diangkat dalam workshop di palu
pada tanggal 22 Mei 2012 dengan tema yang bertajuk “PETA GERAKAN RADIKALISME DI
INDONESIA”, − Agung sendiri merupakan dosen UNISBANK. Melihat fenomena
tersebut, agung bukanlah orang non pendidikan.Agung merupakan orang yang
terdidik dan tergolong sebagai individu mapan pendidikannya. Berangkat dari
kejadian agung, pendidikan yang tinggi saja tidak cukup, pendidikan dengan
orientasi transfer ilmu ke otak saja tidak menciptakan generasiberkarakter, malah sebaliknya.
3.
Pendidikan
Karakter.
Tidak
adanya model pendidikan ini sama saja menciptakan generasi yang tak
berkarakter, − setidaknya melanjutkan
tren pemuda yang lemah karakter. Hal ini ditandaskan atas kondisi
psikologis kaum muda sebagai fase pencarian identitas, kemudian diperparah
dengan pendidikan yang tak mampu memberikan identitas yang baik; pembentukan
karakter.Keadaan demikian menciptakan sebuah kekosongan yang merongga dalam
diri seorang pemuda dan menjadi kerentanan yang ekstrim.Pada akhirnya,
kekosongan tersebut memberikan celah terhadap pegiat radikalisme, sehingga
celah ini dapat dimanfaatkan secara baik oleh mereka.
IV.
PESANTREN SEBAGAI SOLUSI RADIKALISME
A. SISTEM
PENDIDIKAN PESANTREN
Pesantren merupakan lembaga pendidikan berbasis
keagamaan tertua di Indonseia.Pesantren sendiri adalah asrama tempat santri
atau tempat murid-murid belajar mengaji dsb; pondok −
KBBI.
Sedangkan menurut para ahli, termasuk Dhofier
(1994: 84), mendefinisikan bahwa pondok pesantren adalah lembaga
pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, menghayati dan
mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai
pedoman perilaku sehari-hari.
Mengenai sistemnya, pesantren memiliki corak
khas yang menjadi branding pesantren itu.Sistem tersebut adalah, pendidikan
berkarakter serta pendidikan karakter.Pada tataran praktisnya dua sistem
tersebut memiliki peran yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.Pendidikan
berkarakter membentuk karakter peserta didik melalui pendekatan materi ajar – menitik tekankan pentingnya materi ajar menjadi karakter.Sementara pendidikan karakter, membentuk
karakter melalui pendekatan pentingnya memiliki karakter yang kuat bagi
kehidupan mereka. Pendidikan seperti ini direalisasikan tanpa melihat materi
ajar, melainkan penggemblengan karakter
itu sendiri.
B. MENJINAKKAN
RADIKALISME MELALUI PENDIDIKAN PESANTREN
Melihat permaslahan
radikalisme kaum muda dengan semua pendekatannya, dapat disimpulkan bahwa
pemuda pada dasarnya memang mudah dipengaruhi.Karakter mereka dapat dengan
mudah goyah serta digoyah, dengan kata lain, mereka adalah individu lemah
karakter. Pesantren dengan dual-sistemnya
dianggap dapat menangani lemahnya karakter kaum muda. Berikut sistemnya:
1.
Penguatan Karakter Melalui Pendidikan
bekarakter
Pesantren
tidak saja bertanggung jawab memahamkan materi ajar terhadap peserta didik,
melainkan wujudnya penghayatan serta pengamalan dalam rutinitas sehari-hari menjadi
tanggung jawabnya pula.Melalui sistem ini, kaum muda tidak saja memiliki
pengetahuan yang tinggi, namun memiliki karakter yang selaras dengan
pengetahuannya. Dengan ini, kaum muda tidak gemar berpikir secara monolitik melainkan berpikir
secara holistik. Agama tidak saja menginginkan terciptanya kebaikan, namun
terjaganya kedamaian juga merupakan
tuntutan agama.Tidak seperti pegiat radikalisme, menginginkan teciptanya
kebaikan namun menggadaikannya denganmara bahaya.
2.
Penguatan Karakter Melalui Pendidikan Karakter
Para
peserta didik, yaitu kaum muda, secara mental akan terus digemblengmelalui
pembiasaan dengan melakukan hal-hal baik; pembiasaan jujur, kesatria, malu
berbuat culas, malu berbuat keburukan, malu merugikan orang lain, malu
berbohong terhadap orang lain. Hal-hal ini dilakukan sampaikarakter mereka
benar-benar terbentuk dan terpola atas nilai-nilai tersebut.Melalui metode ini,
permasalahan kaum muda yang mudah terpengaruh akan dapat diatasi, karena pada
dasarnya pemuda sudah mempunyai karakter yang kuat. Dengan demikian permasalahan
mayoritas pemuda mudah terpengaruh radikalisme dapat tertolak;tidak ada lagi
kasus grombolan pemuda menjadi ladang radikalisme.
V.
PENUTUP
Fenomena “Radikalisme kaum muda” mencuat
kepermukaan seiring ditemukannya banyak kasus radikalisme yang menjangkit kaum
muda.Dalam perkembangannya, kaum muda menjadi santapan empuk bagi pergerakan
radikalisme dan penyusupannya.Alih-alih dari mode pendidikan yang ada dapat
mencegah radikalisme,justru menjadi lahan eksotikbagipenyebaran radikalisme,
karena tidak menciptkan generasi berkarakter– sebagaimana temuan beberapa
penelitian belakangan ini.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan dengan
penerapan dua tahapsekaligus, yaitu pendidikan berkarakter serta pendidikan
karaker.Pendidikan berkarakter tidak saja menciptakan lulusan berpengetahuan
tinggi melainkan nilai karakternya pun tinggi, karena selaras dengan ilmu
pengetahuannya. Sedangkan pendidikan karakter, peserta didik akan digembleng pentingnya
memiliki karakter kuat melalui rutintas kesehariannya.Melalui proses ganda ini,
diharap permasalahan yang melanda kaum muda – sebagai pelaku radikalisme
atau korban radikalisme− dapat tertangani.
DAFTAR PUSTAKA
Azca, Muhammad Najib, “Yang Muda yang Radikal;
Refleksi Sosiologis Terhadap Fenomena Radikalisme Kaum Muda Muslim di Indonesia
Pasca Orde Baru”, di jurnal MA’ARIF, Vol. 8, No. 1, Mei, 2013.
Adityawarman, Edo,
W., “Radikalisme Agama”, dalam http://www.cebolang.net/radikalisme-agama, (diakses pada 17 februari
2016).
Editor, “Perngertian Pesantren” dalam http://www.blogblog.com/pengertian-pesantren,(diakses
pada 17 februari 2016).
Fuller, Graham, “Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam”, Bandung:
Penerbit Mizan, 2015.
Karni, S. Asrori, “Etos Studi Kaum Santri”, Bandung: Penerbit
Mizan, 2009.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Luring (Luar Jaringan), v. 1,5.
Mufid, Ahmad
Syafi’i, “Peta Gerakan Radikalisme Di Indonesia”, dalam workshop
membangun kesadaran dan strategi menhadapi radiklisme agama, Palu, 2012.
Zuly, Qodir, “Perspektif Sosiologi Tentang
Radikalisasi Agama Kaum Muda”, di jurnal MA’ARIF, Vol. 8, No. 1, Mei, 2013.
Tidak ada komentar