Filosofi Hujan Karya : Ummi Muizzah
Jospy Arloji
08.57
0
Filosofi
Hujan
Karya : Ummi Muizzah
Jarum
jam sudah menunjukkan pukul 02.00 pagi, namun sedari tadi mataku belum sempat
terpejam. Aku mencoba membuka pintu kamar, berusaha mengusir hening yang
mengepul di antara tembok-tembok kamar. Sudah dua bulan aku berada di sini, dan
benar saja ada sesuatu yang mengusir kantukku malam ini.
“Aku
rindu rumah”, aku menggumam sendiri sembari ditemani gerimis yang sejak sore
tadi tak juga berhenti. Sarang memang akhir-akhir ini selalu hujan. Bicara
tentang hujan, ada filosofi tersendiri bagiku. Biasanya saat-saat seperti ini,
aku berada di samping ibukku dengan ditemani coklat hangat aku berada di
sampingnya mendengarkan wejangan darinya. Namun kali ini tidak! Sungguh aku
telah berada jauh dari tempat yang kuanggap surgaku. “Ah...Ibu”, lagi-lagi aku
menggumam dalam hati namun kali ini lamunanku berhenti setelah aku merasakan
ada seseorang di belakangku menepuk pundakku, “Fida bangun ayo sholat malam.”
Dari sini, ratusan detik lamanya aku melamun, aku tersadar ternyata hujan
adalah siksa bagi sesiapa yang kehilangan.
Selepas
itu, tepat selepas sholat malam, aku masih enggan terpejam. Masih saja seperti
itu, duduk di depan pintu sembari melingkarkan tanganku mendekap erat sebuah
mushaf. Entah kenapa, aku tak lekas membaca, sedang menikmati hening atau
memang enggan bergeming. Malam itu Sarang hujan deras, dan lagi-lagi aku
berasumsi bahwa ibu ada di sini, di sampingku, memelukku. Adakah yang mengerti?
Ini bukan sekedar rasa rindu anak pada ibunya lebih dari itu, ini adalah
perasaan cinta dan ribuan tanya yang kan mencipta iba, “ibu sedang apa di sana?
Baik-baik sajakah? Bagaimana dengan adik, apa dia sehat-sehat saja?”. Derasnya hujan, semakin mengutukku dalam
sesal. Bagaimana tidak? Sore tadi aku baru saja mendapati ibu menelponku, suara
paraunya samar-samar terdengar bersahutan dengan suara hujan di kota Sarang. “Ibu
ewet nopo?” tanyaku saat itu.
“Ibuk
lagi arep madang nduk, piye awakmu sehat-sehat ae ta?”
“Alhamdulillah
sehat kok buk, ibuk masak nopo sakniki?” tanyaku begitu antusias.
“Ibuk
cuma bikin sambel nduk, lagi tirakat demi kamu di pondok. Sing tenanan gheh,
doakan terus bapak-ibuk rejekinnya lancar untuk mondokkan kamu, kalau kamu
sukses ibuk bangga nak.”
“Allah...
sebesar itu cinta mereka”, kataku dalam hati. Aku tak kuasa berkata-kata saat
itu, mulutku tiba-tiba saja kelu, tenggorokanku mendadak buntu. Air mata yang
menetes saat itu, sudah cukup memberikan gambaran atas perasaanku. Aku tak
ingin berbicara, sebab aku tak mau ibu tau bahwa aku tengah menangis, aku sengaja
mematikan telponnya. Sejak kejadian itu hingga detik ini, aku masih merutuki
diriku sendiri, entah kunamai apa rasa ini, yang jelas ini bukan beban bisa
jadi ini adalah sesal, pengorbanan mereka sejauh itu untukku? Lantas apa
balasanku untuk mereka? “Ah ibu... maafkan anakmu ini...”, tukasku dalam hati.
Saat ini aku merasa tengah bertarung dengan hati sendiri, harusnya aku tak
boleh selemah ini! Ibu pasti sedih melihatku seperti ini, bukankah ibu ingin
aku hebat? Aku tak boleh cengeng! Ini hanya konflik hati, rindu rumah? Fada,
pantang bagimu untuk pulang sebelum apa yang kamu inginkan tercapai!
Tak terasa satu jam lamanya, aku
bergulat dengan sebuah rasa yang mencipta jejak paling ombak terkenang sebagai
embun cemara yang pecah di kaca jendela. Dan atas hujan yang datang,
kurentangkan tangan dan kulantangkan teriakan, tak mengapa malam ini tak ada
kata-kata yang hidup semua mati dan redup juga kosong lantas sepi merebah
pelukan, kan kuutarakan ribuan mil dari kilometer hati sebuah janji, “Ibu aku
berusaha membanggakanmu”.
Kali
ini, gerimis masih turun lagi bahkan hingga pagi. Tak mengapa, aku tak akan
lagi berkisah mengenai pedih atau hujan yang kerap kali melelehkan ingatan.
Dunia terlampau padat dan sesak oleh kepedihan atau terlalu ringkih menanggung beban
kenangan. Ibu, aku melihat barisan bougenvil depan kamarku. Bougenvil itu
berbicara dengan bahasa mereka, mereka tumbuh berharap jadi tempat berteduh dan
sekedar ingin menyapa angin lalu kering atau tumbang pada musim kerontang.
Mereka mengaduh saat jatuh: rubuh, sebab ditumbangkan tapi jerit mereka hanya
terdengar sebagai jerit dari ranting yang patah atau dahan yang rebah. Untukmu
aku tak ingin seperti itu bu, lebih dari tiap jengkal kekata yang kau baca, aku
ingin membuatmu bangga. Ibu bersama hujan mengundang rindu yang menghujam, aku
kirimkan puisi terindah yang pernah kukarang. Hapuslah air mata yang
menggantung di kelopak matamu sebelum embun turun dan mentari hangati pagi, lantas
hujan pulang juga hilang.
SEKIAN!!!
Tidak ada komentar