Keluh Sang Sajadah Merah
Ana Rodliyah
18.09
0
Keluh Sang Sajadah Merah
Oleh : Siti Rodliyah
Suara takbir menggema di seluruh penjuru langit, menembus
awan-awan, menjelajah jagat alam. Tak sedikit para hati tergerak untuk melangkahkan kaki menuju ke
tempat di mana ia bisa berhadap. Dan sangat banyak hati yang tertutupi oleh
sekat-sekat. Lima kali setiap harinya takbir itu menggaung di bawah langit dan
memecahkan kehiruk pikukan dunia yang ternyata penuh nista. Sebut saja Imron,
laki-laki tua yang pertama kali membawaku ke ruangan besar, dindingnya penuh
dengan ukiran kaligrafi, banyak tiang yang berdiri kokoh, ada kubah besar tepat
berada di atasku. Aku digelar dengan seksama oleh Imron, ketika diriku sudah
terbaring lurus, kutoleh disamping kanan kiri, banyak kawan sama terbaring
lurus denganku. Woow, berarti diriku berada di tempat yang istimewa, nyatanya
aku banyak menjumpai kawan-kawan dengan berbagai warna dan corak. Pada kali
pertama aku dibawa sosok hamba Allah ke rumah ibadah yang megah itu. tak
terbayangkan olehku sebelumnya. Aku mencoba memperkenalkan diri pada
kawan-kawanku yang senasib, sebenarnya aku tak tahu namaku siapa, yang jelas
aku seringkali dijuluki sang sajadah merah, karena warnaku memang merah. Ya,
merah yang menyala, dan harapan besarku adalah siapapun yang memilikiku,
kapanpun itu bisa menyalakan semangat untuk menghadap Sang Pencipta.
Aku teringat, dulu, dulu sekali, Imron si laki-laki tua
yang taat beribadah itu memanfaatkanku dengan baik. Tidak cukup lima kali
diriku digelar di atas tanah, tapi lebih dari itu. Meskipun seringnya aku
dibawa ke surau kecil dan sangat sederhana oleh Imron, tapi kekhusyu’an doanya
membuatku jauh lebih damai dibanding aku dibawa ke tempat yang megah dan penuh
ukiran seni tapi tak kurasakan kekhusyu’an di sana.
Dulu, dulu sekali, aku senang sekali jika Imron si
laki-laki tua yang taat beribadah itu membawaku serta dalam doa, senandung
Al-Qur’an, dan dzikir malamnya. Ah, hal itu yang sangat kurindukan. Meskipun
pada malam hari seringkali diriku terbasahi oleh air mata si laki-laki tua itu.
Justru hal itu membuat sejuk diriku meski kadang kurasakan dingin yang sangat,
karena sepanjang malam diriku dibiarkan terbaring lurus. Kau memang kadang tak
peduli dengan keadaanku kala itu, karena kau sibuk sekali mengayunkan tasbih
kayumu Imron.
Aku teringat lagi, dulu, dulu sekali, kau Imron si
laki-laki tua yang taat beribadah hanya akan mencuciku jika memang bauku sudah
tak sedap lagi. Sebenarnya itu membuatku kesal, bagaimana tidak? Seharusnya aku
dicuci paling tidak sebulan sekali, biar aku bisa merefreshkan diri untuk
selalu kau ajak dan kau bawa untuk menghadap sang pencipta. Hemm, harusnya kau
lebih memperhatikan itu dulu. Ah, sekarang kekesalan itu hanya sebuah kenangan
yang tak akan terulang lagi.
Sekarang, aku hanya bisa mengingat kenangan itu, andai
saja aku diciptakan dengan kedua mata, aku akan cucurkan air mata sebanyak-banyaknya,
andai saja aku diciptakan dengan satu mulut, aku akan teriak sekeras-kerasnya,
andai saja aku diciptakan dua kaki yang mampu berjalan, aku akan lari sekencang-kencangya
untuk kembali ke masa di mana aku bersama Imron, si laki-laki tua yang taat
beribadah itu. Aku merindukan momen-momen yang seharusnya aku alami, bukan di
balik kayu balok yang pengap ini, yang hanya ada cahaya lilin untuk menyinari
ruang kecil, sesak kurasakan. Aku ingin menampakkan diri, tapi bagaimana aku
bisa tampak? Tumpukan kain di atasku setiap hari semakin banyak, dan semakin
menutupi diriku yang terlanjur kusam. Dan hal itu semakin hari membuatku semakin berat untuk
menyanggah kenyataan ini. Terkadang aku merintih melihat keadaanku sekarang.
Dulu, bicara dulu lagi, ketika Imron si laki-laki tua yang taat beribadah itu
meninggalkan aku sendiri, keadaanku masih bagus, masih layak untuk
dimanfaatkan, masih fresh dan wangi meski hanya bau-bau itu saja. Ah, mengingat
itu membuat rinduku semakin membuncah pada suasana damainya menghadap sang
pencipta dan dzikir yang dalam. Aku tidak seperti laki-laki tua yang taat
beribadah itu, yang selama nafasnya berhembus, dia bisa melakukan ritual yang mendamaikan
jiwa, pikiran dan raga itu. Aku hanya benda mati yang menjadi saksi laki-laki
tua yang taat beribadah itu melakukan kewajibannya sebagai hamba Allah.
Sebenarnya aku masih bisa bersaksi untuk orang lain, tapi apa daya, aku
terlanjur diasingkan di balik kayu balok yang pengap ini. yang hanya ada cahaya
lilin untuk menyinari ruang kecil, sekali lagi sesak kurasakan. Kali ini tidak
hanya sesak karena tempat yang pengap, tapi sesak karena kerinduan yang dalam
dan harus menerima kenyataan yang pahit ini. sudah sekian lama aku terkurung di
sini, sesekali aku diajak dan di bawa oleh seorang laki-laki muda yang gagah
dan tampan, serta berpakaian yang bagus dan rapi ke tempat yang penuh dengan
kebisingan, meski ada sayup-sayup suara takbir. Boro-boro setiap hari lima kali aku dibawa, hal itu tidak setiap hari, setiap minggu atau bahkan setiap bulan, tapi hanya
setiap tahun. Setiap tahun pun
aku tak selalu diajak oleh laki-laki muda itu. Ketika aku
diajak dan dibawa ke tempat yang sesak dengan manusia, entah tempat ibadah atau
tidak, aku tak bisa membedakan. Tapi aku yakin itu tempat ibadah karena aku
melihat kubah besar di atasku, aku teringat dulu, dulu sekali diajak Imron ke
tempat yang tak jauh berbeda dengan tempat yang sekarang kulihat ini. ya, meski
sekali aku diajak Imron si laki-laki tua yang taat beribadah itu ke tempat
seperti ini, aku ingat betul, kenangan itu tersimpan baik. kujumpai
kawan-kawanku lagi yang penampilannya jauh lebih menarik dariku, kusapa kawan
senasibku, kuperkenalkan diri dengan menyebutkan julukanku sang sajadah merah.
Mereka tertawa, mereka menganggapku tua dan kusam, mereka mengaggapku tak layak
di tempat seperti itu. Ah, hal itu seharusnya membuatku sedih dan malu, tapi
aku abaikan ejekan mereka terhadap diriku.
Takbir, takbir, suara takbir yang lama tak kudengar,
terdengar di tempat aku diajak oleh laki-laki muda itu. Ah, andai aku
diciptakan punya satu hati, aku pasti meluapkan perasaan bahagia dan sedihku
kala itu. Tapi, tapi, suasana doa dan dzikir kala itu, tak kurasakan damai
seperti dulu ketika aku bersama Imron si laki-laki tua yang taat beribadah,
suasana doa dan dzikir itu tak sekhusyu’ dulu aku bersama Imron. Ah, itu sama
saja buatku, keluar atau tidak keluar dari kayu balok yang pengap itu.
Tapi itu membuat diriku sedikit terhibur. Karena
laki-laki muda itu kadang memberikan aku dengan semprotan minyak yang wangi
sekali, hal itu lebih baik dari Imron si laki-laki tua yang taat beribadah itu,
hanya memberiku minyak wangi yang baunya itu-itu saja. Tapi hanya sebatas itu,
tak lebih. Aku bahkan tak mengenali siapa nama laki-laki muda yang sesekali
mengajakku keluar itu. Ah, tak lama aku di ajak laki-laki muda itu, aku dilipat
lagi dan kembali ke dalam kayu balok yang pengap itu. Sekarang, kayu balok itu
menyaksikan kenyataan pahit yang aku terima. Itu semua keluhku “sang sajadah
merah” yang sudah kusam dimakan waktu, karena tak ada yang memanfaatkan aku
seperti dulu, dulu sekali.
Pukul
16:14, 17 April 2016 di Ponpes Al-Anwar 3 putri
(termenungku
di atas sajadah merah (pink) yang selalu menemani shalatku setiap waktunya,
sajadah turunan yang diberikan oleh sang nenek, ke ibu dan sekarang bersamaku).
S_R
Tidak ada komentar