HIJAU ALAMKU, HIJAU CINTAKU
HIJAU ALAMKU, HIJAU CINTAKU
By: Jinan
sekali mengikuti kegiatan baksos bersama anggota IRMAS di Malang. Namun lagi-lagi bapakku melarang. Entah kenapa, padahal semua ongkos dan biaya hidup sepenuhnya ditanggung yayasan. Aku memang sering diperlakukan seperti orang asing di rumah, seperti anak tiri jika berhadapan dengan bapak. Atau mungkin aku memang anak tiri? Entahlah.
Waktu itu usiaku masih 16 tahun, kalau aku menempuh pendidikan formal mungkin saat itu aku sudah duduk di kelas 1 SMA. Namun, sekali lagi nasib ini selalu buruk. Orang tuaku tak pernah memikirkan pendidikan. Yang penting hanya masak dan bekerja. Itu saja. Sungguh mengenaskan bukan? Pernah saat aku hendak mengajar anak-anak kecil di masjid, bapak malah main judi di pos ronda dekat warung sebelah masjid. Sebelumnya aku tak pernah tahu kelakuan bapak sekeji itu. harus bagaimana jika nanti semua orang tak percaya lagi pada yang aku ajarkan terhadap anak-anak mereka hanya karena bapak seorang guru ngaji ternyata penjudi? Dan ternyata benar, setelah kejadian itu, anak-anak tak ada lagi yang mengaji di masjid. Hanya ada satu yang tersisa, Rini, keponakanku sendiri. Aku tak tahu bagaimana harus menyikapi semua ini. Aku tak mau hanya menghabiskan waktu di rumah saja. Apalagi melihat tangisan ibu setiap hari akibat ulah bapak.
Brosur undangan penanaman seribu pohon di Malang itu telah sampai di tanganku. Ada banyak pilihan yang harus aku mantapkan. Termasuk larangan bapak untuk tidak mengikuti kegiatan ini.
“Bagaimana, kamu ikut kan Nur?”
“Entahlah, aku harus membantu ibu di rumah. Nanti kalau aku diizinkan, aku akan langsung konfirmasi kepadamu Dan.”
Aku terpaksa tidak bicara mengenai bapakku yang selalu menutupku untuk tidak keluar rumah. Aku bisa bayangkan jika sampai teman-temanku tahu tentang bapak, pasti mereka semua akan ikut mengizinkanku untuk ikut acara ini. Namun, aku tak ingin mereka lebih tahu tentang kehidupanku. Terlebih, aku tak ingin merepotkan mereka semua.
“Bu, Nur pengen menambah pengalaman, tolong izinkan Nur ke Malang bersama anak IRMAS. Ada kegiatan penghijauan bumi kita bu.”
“Ibu ndak masalah nduk, tapi bapakmu pasti ndak setuju.”
“Aku hanya butuh restu dari ibu, nggeh?”
Tanpa meminta restu dari bapak, aku berangkat bersama teman-teman menuju Malang. Kota sejuk dengan seribu keindahan alam. Di sanalah awal dari cerita ini.
Namanya Haikal, aku mengenalnya lewat forum diskusi. Bukan mengenal sih, aku hanya mencuri pandang saja. Bahkan aku tak kuasa menundukkan pandangan ini ketika melihat wajah teduhnya. Subhanallah, wajahnya memang teduh. Membuat kenyamanan setiap jiwa kaum Hawa saat memandangnya. Dan aku, mulai mengaguminya. Acara itu berlangsung 3 hari, kami sering berkomunikasi karena tugas kita pun sama. Kami mulai bertukar pikiran bahkan kami pun saling bertukar nomor telepon. Tak ku sangka, aku makin dekat dengannya. Mungkin karena kita nyaman. pemikiran kita pun sama.
“Go green.. Indonesiaku, hijau alamku..” suara teriakan kader-kader masa depan terdengar memenuhi halaman gedung megah itu. di tengah kerumunan anak-anak, mata ini masih saja memandang sosoknya.
“Hey.. gak ikut nimbrung sama kelompokku?” bukan main kagetnya, serasa berdesir darahku.
“Emm.. ya makasih, aku di sini saja.”
Mungkin itu adalah terakhir kali aku bertatap muka dengan makhluk yang indah itu. setelah acara itu selesai,kami hampir putus komunikasi karena hpku sempat diminta bapak untuk dijual. Biasa, jika bapak kalah judi pasti selalu mengorbankan benda-benda milikku dan ibu. Namun, untung saja aku selalu punya tabungan dari hasil kerja sampingan dan mengajar privat. Ya, meskipun aku tak sekolah formal tapi setidaknya aku banyak tahu tentang agama.
Hari itu, tepat bulan Desember. Orangtuaku resmi bercerai. 3 tahun sudah aku putus komunikasi dengan Haikal. Tak tahu kemana, dia tak pernah lagi menghubungiku lewat pesan singkat atau hanya sekedar miscall. Aku juga tak mau merindu, apalah arti merindu jika hanya searah? Dia bahkan tak pernah merinduku. Pernah waktu itu bulan oktober dia menghubungiku lewat pesan singkat. Ya, hanya sekedar mengucap “Happy birthday”. Karena hari dan bulan kelahiran kita sama. Aku bisa pastikan jika kita tak mempunyai kesamaan, mungkin dia tak pernah lagi menghubungiku. Namun setidaknya dia telah banyak memberi arti. Mengajarkan indahnya cinta kepada hamba yang tak pernah merasakannya.
Green life...
Tak ada yang perlu kita sesali
Pada akhirnya semua akan berjalan normal kembali
Senormal Negara ini, Indonesiaku..
Kau mengajarkan banyak arti.
Hidup dengan seribu tanaman, hiasi cinta dengan makna.
Indonesiaku, tetaplah hijau. Sama seperti cinta ini
Yang akan tetap hijau meski hatimu telah layu.
Tidak ada komentar