Artikel
Opini
Tokoh
Cerpen
Humor
Tips
Seni Budaya
Gallery
Saya setuju dengan sebuah statement, “STAI itu didirikan bukan berdasar pragmatisme, melainkan idelisme”. Ini menarik. Bagaimanapun idealisme merupakan salah satu bukti bahwa sebenarnya orang itu punya niatan hidup atau sekedar hidup, atau bahkan tidak punya niatan hidup sama sekali. Tanpa idealisme, sulit sekali seseorang bisa memetik kemajuan dalam hidup, sebab bagaimanapun idealisme merupakan barometernya − terlebih sebuah institusi. Bagaimana mungkin sebuah institusi dapat meraih espekatasi yang tinggi jika cita-cita sebagai patokannya tidak dipunyai. Tidak bisa dibayangkan, apa jadinya sebuah lembaga yang sudah kadung berdiri hanya saja tidak memiliki idealisme. Akhirnya, institusi berjalan ala kadarnya tanpa progres yang berarti dan hanya menjadi rutinitas ala “Glundung Semprong”. Sehingga sematan, “Hidup enggan matipun segan” menjadi sebuah keniscyaan yang tak terelakkan bagi institusi tersebut.
Jika kita berkeyakinan bahwa idelisme adalah patokan dalam menggapai kesuksesan institusi ataupun individu, maka di sisi lain idealisme merupakan nilai dasar adanya marwah seseorang. Mustahil kita mengatakan orang yang menjalanai hidupnya dengan ala kadarnya tanpa tujuan merupakan sebuah representasi orang yang bermarwah. Apakah anda setuju orang-orang tak berbusana di pinggiran jalan adalah representasi orang yang bermarwah? Lebih lanjut, jika anda mengatakan “iya”, apakah anda rela jika marwah anda disamakan dengan marwah orang tersebut? Saya yakin jawabannya tidak. Jika anda menjawab iya, berarti anda patut dibawa ke klinik Tong Fang untuk proses rehabilitasi. Kemudian, dalam konteks santri, idelisme seorang santri dapat terwujud melalui pengukuhan dan pelaksanaan identitas kultur dan budayanya. Ada sebuah statement menarik dalam kajian social dan antropolog, “Sebuah masyrakat maju, ciri khasnya adalah pengertian serta kesadaran dalam melaksanakan identitas kelasnya”. Tanpa adanya kesadaran tersebut sulit sebuah tatanan masyarakat menemukan momentum kebangkitannya secara ideal, sebab instrument peradaban tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Begitupaun dengan idealissme santri. Sejauh ini kultur dan budaya santri adalah penghormatan guru yang tak ternilai dan sikap itu sesuai dengan diktum, “Guru merupakan sosok yang patut dihormati setelah kedua orang tua”. Dalam kaitannya dengan sesi acara lalu, seharusnya kita sadar dan mencoba menyadarkan diri bahwa sebenarnya di muka-podium masih ada sosok-sosok guru yang harus dihormati. Tidak sepatutnya sikap serapah itu ditunjukkan dihadapan beliau-beliau. Kegetiran ini tambah menjadi-jadi ketika keberadaan guru tersebut hanya menjadi korban pelampiasan gelap mata kegandrungan yang tak terkontrol. Pada akhirnya mana guru mana, mana orang biasa tak ada bedanya dalam penyikapannya. Mengenai hal ini memang tidak bisa menuduh siapa yang bersalah dan siapa yang paling bersalah. Hanya saja ada sebuah kesalahan yang nyata dan patut dikoreksi secara keseluruhan. Kesalahan itu ada dalam diri serta individu yang semrawut dan kalut kala itu.
Jika kemudian ada orang yang mengatakan, “Ini bukan pondok murni. Tidak bisa disamakan dengan yang tulen dan benar-benar concern terhadap salaf. Jadi harap dimaklumi.” Saya akan tegas mengatakannya, “Iya. Tidak mungkin kita samakan dan tidak mungkin sama, karena bagaimanapun eko-sosialnya sudah berbeda sama sekali”. Tapi pertanyaannya, bukankah jiwa kita santri? Bukankah seharusnya jiwa itu terus dipupuk dan menjadi modal dasar dalam mengembangkan peradaban santri? Bukankah jiwa santri itu terus kita kawal agar benar-benar tertancap, meskipun negenai tampilan bisa diupgrade sasuai perkembangan zaman? Fakta di atas itu memang benar adanya, Akan tetapi jika fakta dijadikan dijadikan dalih untuk melangkah mundur ke belakang secara bersama, berarti itu patut dikoreksi.
Kesadaran kelas –dalam hal ini adalah kelas santri− harus dilaksanakan oleh pemilik kelas tersebut. Eksistensi kelas sebagai identitas tidak bisa kita anggurkan begitu saja tanpa adanya kesadaran pemiliknya. Kalau pemilik kelas saja tidak sadar dengan posisi kelasnya, lantas siapa yang harus sadar menyandangnya? Apakah harus orang lain di luar kelas itu? Kalau sebagai santri saja tida sadar dengan kesantriannya, lantas haruskah selain santri sadar dengan kesantrian dan embo-embo menjadi santri? Ini tidak mungkin dan sangat naif. Tampaknya, setelah melihat serangkaian fenomena di atas, sudah saatnya kita mengeratkan kembali makna adab beserta hal-hal yang terkait dengannya. Langkah ini sebagai wujud kesadaran pemilik kelas terhadap kelasnya. Pada ujungnya, idealisme ini akan tertegakkan setegak adab yang tertanam kokoh. Dan bersama dengan ini semua, marwah santri yang sempat sayup dan layu akan merekah kembali tanpa adanya kekhawatiran dan kegetiran ketika memandangnya.
*Hasyim MQ
Kunjungan tuan rumah Mata Najwa, Najwa Syihab, dalam beberapa waktu
lalu memang layak diapresiasi. Kunjungan dalam rangka menyulut minat
baca yang belakangan dirasa keredupannya sudah memprihatinkan dan perlu
ditindak. Sebuah bukti diungkap, bahwa masyrakat Indonesia menjadi
pemenang kampiun dalam tingkat kemalasan membaca; Indonesia berada di
urutan nomor dua bongkot, masih lumayan ada yang dikalahkannya;
Indonesia berada di urutan 60 dari 61 negara sebagai sampelnya, ini
memang ironis dan mencengangkan. Sebuah langkah cerdas −mengahdirkan
duta baca− mana kala memang mahasiswa pada detik ini masih manjadi
pasien yang perlu disadarkan, meskipun sebenarnya ini bukan tahapan
mereka lagi. Tahapan mereka seharusnya adalah menyadarkan, bukan
disadarkan layaknya murid-murid TK Umar Harun ataupun cikal-bakal SD
lanjutannya.
Layak utuk dicermati. Ada pembelajaran yang patut dipetik yang muncul dan tersaji dalam sesi acara beberapa waktu lalu. Satu sisi, ini adalah sebuah pembelajaran brilian dan kesempatan dalam menyadarkan dan menumbuhkan minat baca, terutama mahasiswa. Sisi lainnya adalah perlunya kesadaran yang dissebabkan oleh munculnya anomaly dalam diri santri dalam sikapnya yang menjadi respon dari kunjungan ini. Keanomalian itu mungkin tidak begitu tampak. Jikalaupun itu tampak –yang sangat disayangkan− mungkin akan dinggagap sebagai hal wajar sebagai seorang mahasiswa. Namun sebenarnya ini menberikan pertanda dan menjadi warning, bahwa anomaly itu sudah bertunas. Anomaly yang tampak adalah sikap “terlalu” seorang santri dalam merespon. Seorang santri selayaknya memang harus menghormati tamu siapapun itu, terlebih sesama saudara Islam. Begitupun penghormatan lainnya-pun yang menjadi kewajiban sudah sepatutnya tidak terluputkan dan tak tergadaikan. Penghormatan tersebut adalah penghormatan terhadap seorang guru.
Cobalah kita tengok dan amati, hal apa yang telah tersaji dari sikap seorang santri pada waktu lalu. Penghormatan kepada tamu memang haru dilaksanakan dan diadakan, mengingat ini amanah etika seorang santri. Bukan seorang sntri kalau memang dia tidak dapat memulyakan tamunya. Namun jika penghormatan itu melampui kewajaran dan menghilangkan keseimbangan, lantas ini dinamakan apa? Salah atau tidak? Saya pun tidak begitu paham, apakah ini penilaian yang terlalu jauh atau terlalu sensitive dalam menilai. Hanya saja faktanya, bahwa karisma sesosok guru pada sesi kemarin tampak redup −kalau tidak ingin dikatakan hilang sama sekali. Pesona idola seorang guru tampak terkalahkan dengan silaunya pesona keartisan. Hebohnya kekaguman kepada seorang artis melambung melebihi kehebohan kekaguman kepada seorang guru. Serta asyiknya mendaulat idola artis lebih terasa “wah” dibanding mendaulat guru sebagai idolanya.
Lebih lanjut, riuh dan kalutnya santri meledak saat detik-detik akhir sesi. Dari keriuhan serta kekalutan ini lahirlah sikap “Lupa daratan” dari kerumunan mereka, sehingga sudah tidak sadar apakah harus melangkahi ataupun dilangkahi. Mereka sudah tidak perduli bahkan terhadap diri sendiri. Kemudian yang lebih memilukan, “Lupa daratan” ini melahirkan sikap tuna-adab yang seharusnya tidak tidak timbul, apalagi dalam tuna-adab ini mengorbankan keberadaan dan kehadiran sesosok guru pada sesi acara tersebut. Guru seolah keberadaanya tidak tersadari dan perlahan termarginalkan. Ataupun yang malah menghentak, adalah sikap yang agak rela memarginalkan seorang guru demi mengejar kesempatan eksis bersama sang artis. Dan jelas munculnya anomaly ini menandakan lunturnya marwah santri.
Bersama dengan ini, mari kita tanyakan kedalam diri masing-masing: Sikap tanggung jawab apa yang akan kita hadirkan untuk membenahi keanomalian ini? Sejauh manakah kita berusaha mengembalikan marwah santri yang mulai luntur? Keanomalian ini jika tidak disadari akan menjalar kepada pengakuan public, bahwa “ini bukan permasalahan. Ini biasa saja dalam merespon seorang artis, terlebih mereka adalah anak-anak muda”. Yang saya khawatirkan dan takutkan, orang yang berkata demikian mengatakannya dengan penuh kesombongan ataupun kecongkakan. Pada akhirnya, orang-orang seperti inilah yang akan menggadaikan sedikit demi sedikit marwah santri dan terus memupuk keanomaliannya. Selanjutnya, ini akan menjadi kewajaran dalam domain public yang tak berkesudahan dan terwariskan. Lantas akan diteruskan oleh generas-generasi setelahnnya tanpa tahu nistanya tuna-adab ini.
Layak utuk dicermati. Ada pembelajaran yang patut dipetik yang muncul dan tersaji dalam sesi acara beberapa waktu lalu. Satu sisi, ini adalah sebuah pembelajaran brilian dan kesempatan dalam menyadarkan dan menumbuhkan minat baca, terutama mahasiswa. Sisi lainnya adalah perlunya kesadaran yang dissebabkan oleh munculnya anomaly dalam diri santri dalam sikapnya yang menjadi respon dari kunjungan ini. Keanomalian itu mungkin tidak begitu tampak. Jikalaupun itu tampak –yang sangat disayangkan− mungkin akan dinggagap sebagai hal wajar sebagai seorang mahasiswa. Namun sebenarnya ini menberikan pertanda dan menjadi warning, bahwa anomaly itu sudah bertunas. Anomaly yang tampak adalah sikap “terlalu” seorang santri dalam merespon. Seorang santri selayaknya memang harus menghormati tamu siapapun itu, terlebih sesama saudara Islam. Begitupun penghormatan lainnya-pun yang menjadi kewajiban sudah sepatutnya tidak terluputkan dan tak tergadaikan. Penghormatan tersebut adalah penghormatan terhadap seorang guru.
Cobalah kita tengok dan amati, hal apa yang telah tersaji dari sikap seorang santri pada waktu lalu. Penghormatan kepada tamu memang haru dilaksanakan dan diadakan, mengingat ini amanah etika seorang santri. Bukan seorang sntri kalau memang dia tidak dapat memulyakan tamunya. Namun jika penghormatan itu melampui kewajaran dan menghilangkan keseimbangan, lantas ini dinamakan apa? Salah atau tidak? Saya pun tidak begitu paham, apakah ini penilaian yang terlalu jauh atau terlalu sensitive dalam menilai. Hanya saja faktanya, bahwa karisma sesosok guru pada sesi kemarin tampak redup −kalau tidak ingin dikatakan hilang sama sekali. Pesona idola seorang guru tampak terkalahkan dengan silaunya pesona keartisan. Hebohnya kekaguman kepada seorang artis melambung melebihi kehebohan kekaguman kepada seorang guru. Serta asyiknya mendaulat idola artis lebih terasa “wah” dibanding mendaulat guru sebagai idolanya.
Lebih lanjut, riuh dan kalutnya santri meledak saat detik-detik akhir sesi. Dari keriuhan serta kekalutan ini lahirlah sikap “Lupa daratan” dari kerumunan mereka, sehingga sudah tidak sadar apakah harus melangkahi ataupun dilangkahi. Mereka sudah tidak perduli bahkan terhadap diri sendiri. Kemudian yang lebih memilukan, “Lupa daratan” ini melahirkan sikap tuna-adab yang seharusnya tidak tidak timbul, apalagi dalam tuna-adab ini mengorbankan keberadaan dan kehadiran sesosok guru pada sesi acara tersebut. Guru seolah keberadaanya tidak tersadari dan perlahan termarginalkan. Ataupun yang malah menghentak, adalah sikap yang agak rela memarginalkan seorang guru demi mengejar kesempatan eksis bersama sang artis. Dan jelas munculnya anomaly ini menandakan lunturnya marwah santri.
Bersama dengan ini, mari kita tanyakan kedalam diri masing-masing: Sikap tanggung jawab apa yang akan kita hadirkan untuk membenahi keanomalian ini? Sejauh manakah kita berusaha mengembalikan marwah santri yang mulai luntur? Keanomalian ini jika tidak disadari akan menjalar kepada pengakuan public, bahwa “ini bukan permasalahan. Ini biasa saja dalam merespon seorang artis, terlebih mereka adalah anak-anak muda”. Yang saya khawatirkan dan takutkan, orang yang berkata demikian mengatakannya dengan penuh kesombongan ataupun kecongkakan. Pada akhirnya, orang-orang seperti inilah yang akan menggadaikan sedikit demi sedikit marwah santri dan terus memupuk keanomaliannya. Selanjutnya, ini akan menjadi kewajaran dalam domain public yang tak berkesudahan dan terwariskan. Lantas akan diteruskan oleh generas-generasi setelahnnya tanpa tahu nistanya tuna-adab ini.
Sarang- Acara Talk Show Catatan Najwa memang sudah
selesai, Akan tetapi masih meninggalkan
beberapa cerita unik. Acara yang
diselengarakan pada Sabtu (15/4) di Kampus STAI Al Anwar ini dihadiri oleh
Najwa Shihab dan Dr. K.H. Abdul Ghofur Maimun. Dalam acara tersebut Najwa
Shihab dan seluruh yang hadir dibuat terpukau oleh penampilan Paduan Suara
Mahasiswa (PSM) STAI Al Anwar yang melantunkan lagu Indonesia Jaya.
Menurut Najwa Shihab atau yang akrab dipanggil
Mbak Nana, suara penyanyi solo yaitu Slamet Firdaus mirip dengan salah satu
penyanyi kondang Indonesia Afgan Shahreza. Ia mengatakan sempat terkejut ketika mendengar Slamet
melantukan lagu Indonesia Jaya. Dikiranya Afgan Hadir dalam acara tersebut,
ternyata bukan Afgan tetapi Slamet.
“ Saya kira tadi yang nyanyi Afgan, eh ternyata
Slamet. Tetapi suaranya mirip lho, 11 : 12 . Dan saya mengucapakan terima kasih
kepada PSM yang telah menghibur kami semua dan telah membuat acara talk show
ini semakan ramai.” Tutur Mbak Nana.
Menurut Alawy Selaku Manager PSM lagu ini dipilih,
sebagai runungan kita bersama bahwa hidup
ini akan selalu penuh rintangan. Namun ketika kita menyadari dan menjalaninya
dengan penuh harapan kepada Yang Maha esa serta bekerja sama untuk berjuang,
maka segala impian kita akan menjadi nyata termasuk kejayaan Indonesia.
“ Pemilihan lagu ini tidak sepontanitas, melainkan
melalui beberapa diskusi. Kami diskusikan dengan rekan-rekan semua tentang lagu
apa yang cocok. Akhirnya terpilihlah lagu Indonesia Jaya. Sebab, kami ingin
mengajak semua audien untuk merunung bahwa tanpa persatuan dan kesatuan tidak
mungkin kita bisa mewujudkan negara Indonesia yang Jaya.” Ujar Alawy. (Syihab)
Sarang- Sebagai
negara dengan jumlah penduduk terbesar ke 4, Indonesia masih tergolong sebagai
negara dengan minat baca yang bisa di bilang sangat rendah. Dalam acara Talk
Show yang bertajuk Catatan Najwa pada Sabtu (15/04) di STAI Al Anwar Sarang,
Najwa Shihab yang merupakan duta baca Indonesia. Mengajak kepada seluruh masyarakat Indonesia khususnya peserta Talk
Show untuk lebih gemar mambaca.
Mbak
Nana sapaan akrab Najwa Shihab mengatakan Dalam sebuah survei tahun
2016 minta baca anak-anak Indonesia
menduduki urutan ke 60 dari 61 negara dengan peresentase 0,001 . Masih berada
satu tingkat di atas negara Bostwana dan tertinggal jauh dengan negara
tetatangga Singapura.
“ Dari sebuah survei yang ada minta baca
anak-anak Indonesia setiap tahunnya hanya 0,001%. Masih tertinggal jauh dari negara tetangga
Singapura di mana, rata-rata
masyarakatnya bisa menghabiskan 17 buku untuk dibaca.” Terang Mbak Nana.
Beliau juga mengatakan
sebenarnya yang menjadi probelem rendahnya minta baca di Indonesia bukannya
anak-anaknya melainkan fasilitas yang ada. Sepeti apa yang terjadi di Papua ada mantan atlet
angkat besi, yang setiap harinya naik turun gunung membawa noken (tas khas Papua) yang di dalamnya berisikan buku-buku. Di
sana anak-anaknya pun sangat antusias untuk membaca.
“ Bukan anak-anaknya akan tetapi fasilitas yang ada, yang belum bisa
memenuhi kebutuhan mereka dalam membaca.” Ibuh Mbak
Nana.
Di penghujung acara beliau berpesan kepada seluruh peserta talk show, sebagai duta baca kita harus bersama-sama meningkatkan minat baca
buku, karena
kita dapat mengetahui banyak hal dari itu. (vita)
STAI AL ANWAR BUKA KONVEKSI JAHITAN
Sarang— Selasa (11/4) Dr. KH. Abdul Ghofur Mz bekerjasama dengan PT. Paduren Jaya Kudus membuka pelatihan menjahit bagi Mahasantrinya dengan harapan dapat membangun keahlian dalam hal jahit-menjahit dalam diri mahasiswa/i STAI Al Anwar dengan menghadirkan langsung pelatih dari Kudus, yaitu Ahmadi Rahman (Pemilik PT. Paduren Jaya Kudus), Ahmad Sulhan, dan Ulil Abror.
Sampai saat ini pelatihan menjahit telah berlangsung di Gedung Auditorium STAI Al Anwar selama 3 hari terhitung mulai tanggal 11- 13 April 2017, dan masih akan berlanjut sekitar 7 hari lagi, acara pelatihan menjahit ini dilatih langsung dengan menghadirkan mentor dari PT. Padurenan Jaya Kudus, Bapak Ahmadi Rahman, selaku pemilik dari PT. Pedurenan Jaya Kudus.
“Semoga para santri dapat bersungguh-sungguh dalam pelatihan ini, sehingga dalam sepuluh hari ini sudah dapat membuaat baju dan celana. Mungkin untuk kedepannya, kita sudah tau lah bahwa busana muslim sangat banyak, baik dari fashion seperti jilbab atau yang simple seperti sarung” ujar Ahmad rahman dalam pelatihan menjahit tersebut.
Dalam sambutan Dr. KH. Abdul Ghofur Mz, selaku Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Al anwar, beliau meminta bantuan dan kerjasama dengan PT. Padurenan Jaya Kudus agar melatih para peserta selama seminggu ke depan.
“Kami benar-benar minta bantuan agar semuanya ini dilatih, insya Allah ada beberapa orang yang tahun depan sudah harus bikin seragam untuk TK, SD dan KB UMAR HARUN karena setiap anak butuh beberapa baju dan semuanya akan diproduksi oleh Konveksi Al-anwar 3 ini” tutur Dr. KH.Abdul Ghofur Mz. (Tim Reporter)
IBU NELY: UTS ALAMAI PENINGKATAN KUALITAS
Sarang- Ujian Tengah
Semester (UTS) STAI Al-Anwar Sarang yang dilaksanakan Sabtu (1/4) hingga Rabu (5/4)
mengalami peningkatan dari tahun-tahun
sebelumnya. Baik dari persiapam mahasiswa, dosen dan Panitia Ujian. Kesipan ini
terlihat dari diskusi-diskusi diluar forum KBM (Kegiatan Belajar Mengajar), baik
yang berifat serius atau santai. Panitia
pun tidak jauh berbeda, ada perkembangan dalam segi teknis. Seperti penataan
berkas-berkas, ruangan dan penganwas ujian.
Menurut Ibu Nely salah satu dosen Makul Bahasa Arab STAI Al Anwar
Sarang, ada beberapa aspek yang mengindikasikan peningkatan kualitas UTS tahun
ini. Di mana pada tahun ini terlihat mahasiswa sangat antusias dalam menyambut
Ujian. Salah satu contohnya apa yang di lakukan para mahasiswi. Sebelum ujian
berlangsung, mereka telah membentuk forum-forum diskusi yang bertujuan untuk kembali
mereview pelajaran-pelajaran yang telah lalu. Sehingga mereka bisa berbagi
pahaman antara satu orang dengan orang yang lain. Salin itu, panitia pun tak mau kalah, mereka
mepersiapkan UTS ini dengan sebaik-baiknya. Salah satunya, lembar jawaban yang
dahulu masih mengunakan kertas folio sekarang sudah di ganti dengan kertas
khusus.
“Saya banyak melihat Mahasiswa kususnya mahasiswa putri yang
membuat Forum diskusi. Ini menunjukan bangaimana mereka sangat antusias sekali
dalam menyambut ujian kali ini. Meskipun kita belum melihat hasilnya, sebab
belum di koreksi. Tetapi untuk secara keseluruhan pada UTS kali ini ada
peningkatan dari pada yang dulu. Apalagi persiapan Panitianya, sudah mengalami perkembangan.
Seperti kertas yang sebelumnya mengunakan polio sekarang sudah diganti dengan
kertas khusus dan tertata rapi. ruangan-ruanganya pun dalam segi penataan, sudah
sangat bagus”.Ujar Ibu Nely saat ditemui Team Reporter di kantor STAI Al-Anwar.
Selain itu Ibu Nely pun berharap UTS tahun ini, para mahasiswa
mendapat nilai yang lebih bagus dari semester yang dulu-dulu. UTS sendiri
mililiki Presentase 20 persen dari keseluruhan nilai yang capai mahasiswa. Jadi,
tidak boleh meremehkannya. Beliau juga berharap agar para mahasiswa Memperbanyak
pengetahuan. Dengan cara giat membaca buku dan berdiskusi. Sebab, hal tersebut
yang akan menjadi penunjang wawasan dan pengetahuan para mahasiswa dalam
menjawab soal- soal ujian, yang kebanyakan modelnya berupa opini. serta hindarilah
belajar dengan Sistem Kebut Semalam (SKS).
“ bobot dari UTS sendiri adalah 20 persen dari keseluruhan nilai
dalam ujian. Jadi, jangan sampai ada yang meremehkannya. Saya berharap kepada
para mahasiswa agar banyak membaca buku dan berdiskusi. Sebab, dua hal
tersebutlah, penunjang wawasan dan pengetahuan mahasiswa, agar ketika ujian
mudah menjawab soal-soal yang berupa opini. serta hindari sistem SKS.” Tutur Ibu
Nely.
Dan yang terakhir beliau mewakili para dosen STAI Al Anwar Sarang
berharap STAI Al-Anwar Sarang bisa berkembanganya pesat. Sehingga
kehadiran STAI Al Anwar Sarang, bisa menjadi salah satu perguruan tinggi yang
akan mencetak mahasiswa berkualitas, baik dari segi intelektualitas maupun segi
moralitas. Mengingat perguruan tinggi ini tidak hanya tempat kuliah saja,
melainkan juga ada pondok pesantrennya. Di mana kampus akan menjadi tempat
pengodokan intelktualitas dan pondok pesentren sebagai tempat perbaikan
moralitas. (Ayu/Vita/Duroh).
Belajar Dari Wortel, Telur dan Kopi
Alawy Assyihab
Kita tidak pernah tahu dengan apa
yang telah ditakdirkan oleh Allah SWT. Kita pun tidak pernah tahu kapan kita
akan di tempatkan pada level atas dan tidak pernah tahu kapan kita akan
diturunkan pada level yang paling bawah. Hanya Allah yang tahu dan hanya Allah
yang mengerti apa yang terbaik buat kita. Kita sebagai hamba hanya bisa
bersabar jika suatu saat nanti Allah menghendaki kita berada di level yang
paling bawah.
Teringat pada salah satu ayat Al-Qur’an
dalam surat al-Baqarah 155:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ
وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ
وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Dan sungguh akan Kami berikan
cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa
dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”
Ayat ini menyadarkan ku bahwa setiap
manusia tidak akan luput dari sebuah ujian atau cobaan. Karena pada hakikatnya
ujian adalah fitrah bagi setiap insan. Dan pasti akan datang kebahiagian
setelah ujian tersebut. Atau dalam bahasa kerennya “ setelah badai pasti akan
terbit pelangi”.
jadi teringat dengan cerita ibu saat masih
kecil dulu. Di mana ia bercerita tentang Seorang anak yang mengeluh pada ibunya
mengenai kehidupannya dan menanyakan mengapa hidup ini terasa begitu berat
baginya. Ia tidak tahu bagaimana menghadapinya dan hampir menyerah. Ia sudah
lelah untuk berjuang. Sepertinya setiap kali satu masalah selesai, timbul
masalah baru.
Ibunya, membawanya ke dapur. Ia
mengisi 3 panci dengan air dan menaruhnya di atas kompor dengan api yang sudah
menyala. Setelah air di panci-panci tersebut mendidih. Ia menaruh wortel di
dalam panci pertama, telur di panci kedua, dan ia menaruh kopi bubuk di panci
terakhir. Ia membiarkannya mendidih tanpa berkata-kata. Si anak membungkam dan
menunggu dengan tidak sabar, memikirkan apa yang sedang dikerjakan sang Ibu.
Setelah 20 menit, sang Ibu mematikan api.
Ia menyisihkan wortel dan menaruhnya
di mangkuk, mengangkat telur dan meletakkannya di mangkuk yang lain, dan
menuangkan kopi di cangkir.
Lalu ia bertanya kepada anaknya,
“Apa yang kau lihat, nak?”
"Wortel, telur, dan kopi” jawab
si anak.
Ibunya mengajaknya mendekat dan
memintanya merasakan wortel itu. Ia melakukannya dan merasakan bahwa wortel itu
terasa lunak. Ibunya lalu memintanya mengambil telur dan memecahkannya. Setelah
membuang kulitnya, ia mendapati sebuah telur rebus yang mengeras. Terakhir,
ibunya memintanya untuk mencicipi kopi. Ia tersenyum ketika mencicipi kopi
dengan aromanya yang khas.
Setelah itu, si anak bertanya, “Apa
arti semua ini, bu?”
Ibunya menerangkan bahwa ketiganya
telah menghadapi ‘kesulitan’ yang sama, melalui proses perebusan, tetapi
masing-masing menunjukkan reaksi yang berbeda.
Wortel sebelum direbus kuat, keras,
dan sukar dipatahkan. Tetapi setelah direbus, wortel menjadi lembut dan lunak.
Telur sebelumnya mudah pecah. Cangkang tipisnya melindungi isinya yang berupa
cairan. Tetapi setelah direbus, isinya menjadi keras. Bubuk kopi mengalami
perubahan yang unik. Setelah berada di dalam rebusan air, bubuk kopi merubah
air tersebut.
“Kamu termasuk yang mana?,” tanya
Ibunya.
“Ketika kesulitan mendatangimu,
bagaimana kau menghadapinya? Apakah kamu wortel, telur atau kopi?”
"Bagaimana dengan kamu? Apakah
kamu adalah wortel yang kelihatannya keras, tapi dengan adanya penderitaan dan
kesulitan, kamu menyerah, menjadi lunak dan kehilangan kekuatanmu.”
“Apakah kamu telur, yang awalnya
memiliki hati lembut? Dengan jiwa yang dinamis, namun setelah mendapat cobaan
atau mungkin patah hati. maka hatimu menjadi keras dan kaku.
“Ataukah kamu bubuk kopi? Bubuk kopi
merubah air panas, sesuatu yang menimbulkan kesakitan, untuk mencapai rasanya
yang maksimal pada suhu 100 derajat Celcius. Ketika air mencapai suhu terpanas,
kopi terasa semakin nikmat.”
"Nak, MASALAH DALAM HIDUP ITU
BAGAIKAN AIR MENDIDIH. Namun, bagaimana sikap kitalah yang akan menentukan
dampaknya"
“Jika kamu seperti bubuk kopi,
ketika keadaan menjadi semakin buruk, kamu akan menjadi semakin baik dan
membuat keadaan di sekitarmu juga membaik.”
Kehidupan tidak selalu seperti yang
kita bayangkan, seperti yang kita inginkan. Tentu ada cobaan dan tantangan yang
harus kita hadapi. namun jika kita yakin dan ketahui bahwa takdir Allah SWT
yang terbaik bagi kita, pasti tidak ada hal yang akan membuat kita lemah.
Semenjak itulah aku sadar bahwa apa
yang terjadi pada diri ini atas kehendak Allah SWT dan dibalik cobaan pasti
terselip hikmah yang sangat mendalam. Allah pun tidak akan menguji hambanya di
luar kemampuaanya. (Alawy Assyihab)
Langganan:
Postingan (Atom)
Popular Posts
-
Tolong Menolong dalam Islam Oleh: Siti Afiah Tolong menolong dalam bahasa A rab nya adalah ta’awun. Sedangkan menurut istilah, p...
-
Gus Bahak, Ulama Yang Enggan Dikenal Sewaktu menyantri di daerah Sarang, saya jadi tidak asing lagi mendengar nama Gus Bahak, orang...
-
Kekuatan Prasangka Oleh : M. Akrom Adabi Apa Itu Prasangka ? Prasangka merupakan sebuah dugaan yang terbesit dalam benak seorang ...
Recent Comment